1 Mei 2018

835 99 47
                                    

"Selamat datang di kelas training pertama untuk para management trainee. Bagi yang baru hadir dipersilakan untuk mengisi formulir yang telah diberikan. Jika sudah selesai, oper kepada orang di depan Anda dan kumpulkan di meja orang yang duduk paling depan."

Dengan bersemangat, Hinata mengisi formulir itu kemudian mengumpulkannya sesuai instruksi supervisor. Hari ini adalah minggu kedua ia bekerja di perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing) ternama di Jakarta, yang mana perusahaan asal Jepang turut menjadi pemodal di perusahaan itu.

Sekarang Hinata tengah berada di sebuah aula besar yang penuh dengan karyawan baru. Tema pelatihan kali ini tidak Hinata ketahui secara pasti; kalau tidak salah tentang manajemen produksi. Aula itu berdinding putih dengan penyejuk udara sentral yang dinginnya minta ampun, membuat Hinata sedikit menyesal mengapa ia tidak membawa jaket.

Absen diedarkan kepada para peserta pelatihan. Hinata menunggu dengan tidak sabaran sembari menggerigiti pulpen yang ia bawa.

Kata orang, neraka itu panas, tapi ini sungguh dingin sehingga aku merasa seperti di neraka juga, batin Hinata. 

Supervisor membuka suara untuk memberikan presentasi pembuka pada pelatihan kali ini. Slide presentasinya tidak lebih dari sepuluh, namun si supervisor dapat menjelaskan isinya secara panjang lebar tinggi.

"Di sini agak gerah ya?" Ujar supervisor berambut perak itu tiba-tiba.

Ingin rasanya Hinata mengutuk orang ini. Bagaimana bisa dia bilang gerah, sementara Hinata sudah membeku layaknya chicken nugget dalam freezer? Rasanya Hinata akan bersin, tapi 'sesuatu' di dalam hidungnya seakan turut membeku, membuat hidung Hinata terasa gatal.

Walaupun Hinata sebenarnya keturunan Jepang, dari orok sampai dewasa ia tinggal di Indonesia, membuat Hinata hanya dapat menolerir dingin dari penyejuk ruangan 1 PK dengan suhu 17°C. Gadis itu masih lebih dapat menahan panasnya pasar tradisional di siang hari bolong.

Saking bosannya, mata Hinata mengamati lalat yang tiba-tiba saja masuk ke aula besar dan memilih untuk hinggap di meja Hinata. Lalat itu tampak berhenti sebentar dan menggosok-gosokkan kedua kaki depannya. Matanya yang besar membuat lalat itu terlihat seperti penjahat yang ada di film-film superhero. Saat menggosokkan tangannya, di bayangan Hinata lalat itu bergumam fufufu, akan kuhancurkan Spiderman! Aku adalah Lalerman!

Lalerman akhirnya terbang rendah dan berputar-putar di meja Hinata. Sekarang Hinata tidak awas pada materi yang diberikan; sepertinya otaknya pun sudah membeku di dalam sana.

Sekarang si lalat sudah terbang tinggi dan tangan Hinata sudah gatal ingin memukulnya. Mata Hinata bertemu dengan mata supervisor yang memberikan presentasi, membuat Hinata mengurungkan niatnya dan memaksa untuk menahan diri.

Gadis berambut panjang itu tiba-tiba teringat dengan lemper yang belum habis dimakannya di dalam kotak snack di dalam tasnya. Ia berpikir, mungkin memakan sesuatu dapat menghangatkan tubuhnya. Hinata dengan tak sabar membuka kotak snack dan melucuti daun pisang yang membungkus lemper malang itu.

Bukan Hinata saja yang menginginkan lemper itu, melainkan juga si Lalerman. Bebunyian nguing-nguing yang dikeluarkan penjahat kecil ini membuat telinga Hinata panas, sepanas ketika ia digosipkan mempunyai tompel yang nggak ilang-ilang di balik plester tempo hari.

Lalerman melancarkan upaya akuisisi lemper Hinata. Dengan sigap, Hinata menggulung kertas handout presentasi supervisor dan...

Peron Satu [COMPLETED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang