Delusi

89 16 44
                                    

Taehyung mengeratkan genggaman tangannya. Cairan merah pekat yang mengalir semakin banyak bagai menganak sungai. Namun laki-laki bertubuh kurus itu seperti tidak merasa sakit. Bahkan, mengeluh pun ia tak bisa. Baginya, rasa sakit seperti ini bukanlah rasa sakit yang dapat ditunjukkan agar orang-orang datang menolongnya. Ia tak memiliki siapapun dan apapun. Ia seorang diri dan harus tetap kuat berdiri di atas kedua kakinya untuk terus melanjutkan hidup, meskipun keinginan untuk hidup terus terkikis waktu demi waktu, bahkan napas demi napas.

"Kau tidak akan mendapatkan apapun untuk semua rasa sakit yang selama ini kau buat, Nak." Kata sebuah suara berat di hadapan Taehyung. Lelaki itu menunjukkan rasa khawatir dan sakit dalam satu waktu di atas wajahnya.

Taehyung menggeleng kuat-kuat hingga rambutnya yang mulai panjang dan terlihat kusam bergerak tak beraturan. Wajah lelaki muda itu basah oleh keringat dan menggambarkan hatinya yang telah tenggelam lama. Tak tertolong lagi.

"Tetap bersamamu pun hanya akan menghancurkanku, Ayah. Seperti apa yang telah kau lakukan pada Noona." Tutup Taehyung sebelum ia menusukkan pecahan gelas kaca ke perut lelaki itu dengan membabi-buta.

Ini adalah akhir dari segala rasa sakit yang ia rasakan sejak dua tahun lalu ketika melihat kakak perempuannya terkapar bergelimang darah. Ini adalah pembalasan terhadap apa yang telah ayahnya lakukan.

Namun stigma yang ia ciptakan tidak akan berhenti sampai di sini saja. Selamanya, ia akan dirongrong dosa.

***

Bocah laki-laki kecil itu menangis dan ketakutan. Ia berada di tengah keramaian, di tempat yang seharusnya mampu membuatnya senang dan tertawa. Namun yang ia rasakan justru kebingungan yang setiap detiknya membumbung, membunuh pikirannya—membuat penuh dengan pertanyaan.

Ia tidak mengerti, ketika satu jam lalu ibunya dengan penuh suka cita membawanya pergi berkunjung ke taman bermain di hari Minggu yang hujan. Biasanya, ketika hari Minggu tanpa hujan, ibunya hanya terlihat sibuk mengurung diri di kamar ataupun pergi entah kemana. Sepanjang hari Minggu yang cerah hanya akan ia habiskan bermain sendirian di rumah tetangga.

"Hoseok, Ibu akan pergi. Ibu sudah menitipkanmu pada Bibi Choi. Sebentar lagi Bibi Choi akan datang menjemputmu. Bermainlah di rumahnya."

Dan kemudian, sebelum Bibi Choi, si Tetangga Baik Hati yang selalu bersedia rumahnya bagai dijadikan tempat penitipan anak itu datang, ibunya sudah pergi lebih dulu dan memberinya beberapa lembar uang.

Karenanya, bocah cilik itu terheran-heran melihat perlakuan tak biasa ibunya yang kini sedang bersamanya— menaiki wahana bianglala, lalu tersenyum senang begitu saja. Meskipun cilik, ia sudah bisa memahami kebiasaan ibunya yang selalu bermuram durja dan mengerutkan kening seperti nenek-nenek. Dan perubahan ini terlampau aneh baginya.

Hingga akhirnya, tanpa sepatah kata, sang Ibu melepaskan genggaman tangannya dan pergi meninggalkannya di depan wahana komedi putar begitu saja. 1 menit, 5 menit, 10 menit, 30 menit, hingga 1 jam. Bocah itu menunggu di atas kekuatan kedua tungkai kecilnya yang rapuh. Hoseok kecil memperhatikan lalu-lalang pengunjung taman bermain yang terlihat bahagia. Benar-benar bahagia. Dan saat itu juga ia sadar hanya ia lah yang kesepian.

Ia berjongkok, ia menangis, ia berteriak meminta tolong, ia menyerukan nama ibunya dan semuanya....tetap kosong. Hampa.

"Ibu, apakah kau ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahunku?" Gumamnya terbata di sela tangis yang remuk-redam.

Sang Ibu tidak pernah kembali lagi. Sang Ibu terlalu lelah menghadapi kehidupan yang keras setelah kematian suaminya.

Sedangkan, sang anak adalah "kehidupan" itu sendiri baginya.

Delusi (✓)Where stories live. Discover now