Bab 2 : Kelompok Bersenjata Misterius

28 3 0
                                    

Merauke, 18 Januari 2021

Berbaring hanyalah hal yang bisa dilakukan oleh Derza selama 3 hari ini. Para tenaga medis di rumah sakit TNI yang berlokasi di Tanah Miring ini telah berhasil menyelamatkan dirinya yang nyaris sekarat karena tertembak. Meskipun kondisinya sudah membaik, namun dokter menyarankannya untuk berbaring di ranjang agar lukanya cepat pulih. Rasa bosan memang sering menghantuinya. Terlebih ia berada di kamar ini seorang diri dan tak ada yang menemani. Sahabat satu regu pun sampai saat ini belum ada satu pun yang menjenguk dirinya. Namun ia yakin, dalam beberapa jam lagi pasti akan ada yang datang. Soalnya ini hari minggu, setiap anggota mendapat kebebasan untuk menikmati hari minggu.

Benar saja, tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu. "Masuklah!" kata Derza.

Pintu terbuka dan menampakkan orang berbadan kekar yang memakai kacamata hitam. "Bagaimana keadaanmu, Sersan Derza?" tanyanya.

"Cukup baik, Danton!"

Pria kekar itu terlihat membawa setumpuk dokumen yang disimpan dalam sebuah berkas. Perhatian Derza tertuju pada berkas tersebut. Letnan Agus mengambil kursi dan meletakan kursi tersebut di samping ranjang Derza. Ia meletakan dokumen itu di samping Derza kemudian ia melepas kacamatanya.

"Kemarin kami melakukan misi untuk menggerebek tempat itu. Hasilnya tidaklah begitu memuaskan. Bangunan itu sudah dibakar bersama dengan mayat-mayat anggota kelompok yang berhasil kita bunuh pada malam itu. Kondisi mayat yang sudah hangus membuat kami harus menerjunkan tim forensik untuk mengungkap identitas anggota kelompok yang berhasil kita bunuh. Di dalam berkas itu, ada dokumen salinan yang menerangkan identitas setiap orang yang berhasil diidentifikasi."

Derza mengambil sebuah dokumen dari berkas itu. Ia membaca semua informasi yang ada pada dokumen itu dengan saksama meskipun dalam posisi berbaring. Tak hanya satu, ia mengambil beberapa dokumen dan membacanya untuk dapat menyimpulkan sesuatu. "Jadi, kelompok ini dianggotai oleh pendatang dan juga penduduk asli. Sebenarnya kelompok apa ini? Pengedar? Kriminal?"

Letnan Agus menarik nafasnya. "Masih belum diketahui. Bisa jadi kelompok ini seperti kelompok kriminal bersenjata di Tembaga pura. Atau mungkin seperti OPM. Tetapi bisa juga mereka adalah kelompok pengedar Narkoba. Tapi karena tidak ada petunjuk lebih dalam mengenai kelompok ini, kita tidak bisa melakukan apa-apa selain menunggu hingga petunjuk berikutnya muncul."

"Ini memang bukanlah tugas kita? Masalah ini harusnya kan dipecahkan oleh tim Intel angkatan darat?"

"Benar. Tetapi, kita bertanggung jawab atas pelarian kelompok bersenjata itu. Sebab kita melakukan kontak senjata dengan mereka. Memang panglima tidak menyalahkan kita atas kaburnya kelompok tersebut. Tetapi aku sebagai letnan yang memimpin regu patroli malam itu, aku merasa bertanggung jawab."

"Benar sih. Karena kita, kelompok itu melarikan diri. Lalu apa yang akan danton lakukan?" tanya Derza.

"Saat ini kita hanya bisa menyerahkan pencarian informasi mengenai kelompok itu pada intel-intel yang ada. Kita juga pun harus bersiap jika ditugaskan untuk menanggulangi kelompok ini."

Tok! Tok! Tok!

"Masuklah!" kata Letnan Agus.

Seseorang yang sangat Derza kenali memasuki ruangan tersebut. Lelaki itu tampak kaget kala melihat keberadaan sang komandan peleton di kamar Derza. Dengan sikap yang tegas dan siap, Indra memberi hormat seraya berkata, "Selamat pagi danton!"

"Pagi. Ada keperluan apa, Sersan Indra?"

"Saya mau bertemu Derza, danton. Berhubung hari ini saya bebas tugas."

"Oh silakan." Letnan Agus mengambil beberapa langkah mundur ke belakang.

"Permisi, danton." Indra mendekati ranjang Derza. "Bagaimana kabarmu, kawan?"

"Cukup baik. Terima kasih karena waktu itu kau sudah bersedia menolongku," kata Derza.

"Tidak usah terlalu dipikirkan. Kita ini sahabat. Saling membantu adalah hal yang wajib dilakukan. Aku yakin ketika nanti aku kesulitan, kau akan menolongku juga," kata Indra.

Sang komandan mendekati mereka berdua. Tangan sang komandan mengorek kantung baju Indra. Seketika itu juga, wajah Indra menunjukkan ekspresi ketakutan. Benar saja, sebuah rokok pun keluar bersamaan dengan tangan sang komandan. "Sudah kuduga kau membawanya, Sersan Indra."

"M-Maaf Danton. Aku akan membuangnya."

"Tidak... Tidak apa-apa. Kau sedang berada di luar jam dinas. Jadi aku izinkan. Asal jangan banyak-banyak karena benda ini bisa mengganggu pernafasanmu." Sang komandan lalu meminta pemantik api. Begitu rokok yang ia ambil dari kantung Indra dinyalakan, ia mengisapnya beberapa detik hingga akhirnya menghembuskan asap yang sangat lebat.

"Tolong jangan merokok di dekatku. Aku tidak suka asap rokok, Danton!"

"Aku juga hendak pergi." Sang komandan berbalik ke arah pintu keluar. "Tapi Derza, tindakanmu kemarin itu hampir saja membahayakan kelompok. Akan kutunggu kau di lapangan begitu kembali bertugas." Letnan Agus pun berjalan seraya mematikan rokoknya dan membuangnya ke tempat sampah.

Ketika pintu ruangan tertutup, Indra pun bernafas lega. Namun entah mengapa dirinya masih merasa takut pada hal yang baru saja terjadi. Letnan Agus membuat sebuah aturan tak tertulis bagi semua anggota peleton yang ia pimpin. Jika ada anggota yang merokok maka berharaplah untuk tidak dilihat oleh Letnan Agus. "Untung saja aku tidak dapat hukuman."

"Aku kan sudah bilang. Jangan merokok lagi. Hampir saja kau kena hukuman dan pemotongan gaji."

Indra mengambil rokok di kantungnya. "Kau benar." Ia berjalan mendekati tempat sampah dan membuang semua rokok yang ada di kantung bajunya. "Mungkin aku harus berhenti merokok untuk sejenak."

"Aku akan mendukungmu. Ini demi kebaikan dirimu sendiri," kata Derza.

"Lebih menakutkan terkena hukuman Danton Agus ketimbang kanker paru-paru," kata Indra di susul suara tawa keduanya bersamaan.

[]=[]=[]

Hari semakin siang dan rasa lapar mulai memuncak. Indra melihat uang yang berada di dompetnya. "Der. Aku mau cari makan. Mau titip makan siang?"

"Boleh. Aku sudah tidak kuat makan makanan di sini."

"Kau mau makan apa?" tanya Indra.

"Terserah. Nasi rendang pun boleh," kata Derza terkikih.

"Wah enak ya. Di tawari makan mintanya yang luar biasa."

"Sekali-kali toh Indra. Kau kan jarang mentraktirku makan."

"Jadi kau mau aku pergi ke kota Cuma untuk beli nasi rendang."

"Bercanda. Terserah kau mau beli makanan apa. Asal cepat karena sebentar lagi sudah waktunya aku minum obat," kata Derza.

"Baiklah, aku pergi dulu."

Ketika Indra pergi, ia merasa kesepian lagi. Di ruangan ini tidak ada media hiburan seperti televisi ataupun radio. Ponselnya pun ada di markas. Tak ada yang bisa dilakukannya untuk menghilangkan rasa bosannya selain tidur dan berharap ada orang yang dikenalnya datang.

Cukup lama ia menunggu dan akhirnya pintu ruangan tempat ia di rawat pun kembali terbuka. Namun sayangnya yang muncul bukanlah Indra melainkan seorang dokter yang sedang bertugas. "Sersan Derza. Aku mau cari makan siang. Apa kau mau titip dibelikan makan siang?"

"Tidak pak. Aku sudah meminta temanku."

"Oh begitu ya. Kalau begitu jangan lupa minum obatnya."

"Baik."

Setelah salah satu dokter itu pergi, Masuklah Indra yang membawa 2 bungkus makanan. Dengan santai keduanya menghabiskan makanan yang telah di beli oleh Indra. Tak ada pembicaraan hingga butir nasi terakhir Derza habis di makannya.

"Akhirnya selesai juga kau makan. lama sekali sih."

"Maaf. Pergelangan lenganku terasa sakit."

Indra melihat jam. Kala itu waktu sudah menunjukkan pukul 12. "Aku harus kembali ke kompi nih." Ia berdiri. "Jangan lupa minum obatnya ya." Ia mengambil bungkusan nasi yang telah kosong dan membuangnya ke tempat sampah.

"Makasih atas makanannya, Indra. Hati-hati di jalan."

[]=[Bersambung]=[]

Gejolak Di Bumi AnimhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang