Aku terbangun dengan rasa sakit yang luar biasa di kepala. Rasanya seperti dihantam palu besar tepat di belakang kepala. Pandanganku berkunang-kunang dan sedikit tidak fokus, memaksaku untuk memicingkan mata untuk melihat sekeliling. Yang akibatnya malah membuat rasa sakit di kepalaku makin hebat menyiksa. Aku menyadari sedang berada di sebuah kamar yang terasa familier sekaligus asing bagiku.
Perabotannya didominasi warna hitam dan putih, sedikit berantakan dengan beberapa pakaian pria tergeletak sembarangan di kursi atau jaket yang menggantung di belakang pintu. Menandakan aku bukan berada di hotel melainkan kamar pribadi seorang pria.
Tapi di mana?
Aku berusaha mengingat-ingat kejadian sebelum ini. Seingatku, semalam aku makan malam dengan Karmen dan ...
Satu ingatan menyentakku hingga dunia terasa berputar dengan cara yang membuatku tidak nyaman.
Tadi malam, Sean muncul kembali dari arah pintu masuk baru padahal baru sepuluh menit yang lalu ia pergi bersama Karmen, kekasihnya.
"Ada apa, Sean?" tanyaku ketika ia sudah mencapai mejaku.
"Ponselku tertinggal di sini," ucapnya seraya meraih ponsel yang tergeletak di meja yang aku tempati.
"Oh!" seruku. "Aku bahkan tidak menyadarinya."
Aku menyesap pelan margarita yang ada dalam genggamanku. Merasakan sensasinya yang meluncur di tenggorokan. Paduan rasa pahit, manis, dan sedikit asin memenuhi indra perasa. Aku merasakan kehangatannya di dalam diriku, membuatku merasa ringan.
Aku menatap matanya saat melihatnya berdiri canggung. Sebelah alisku terangkat, bertanya melalui pandangan mata.
"Kau sendirian?" Sean malah balik bertanya.
Aku mengerjap, menghalau silau menyakitkan saat aku berkeras terus menatap mata coklatnya yang hangat. "Ah! Ya," jawabku tergagap, tersadar ia menunggu jawaban dariku. "Chad sepertinya ada urusan penting di kantornya," aku tersenyum masam.
"Mau kutemani?" Kulihat sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman lembut. Senyum yang masih sama seperti dua belas tahun yang lalu ketika aku melihatnya untuk pertama kali. Senyum menular yang selalu mampu membuat hatiku menggelepar. Tapi rasanya kini berubah menjadi bilah-bilah bambu tajam yang menancap keras di jantung dan paru-paru.
Aku menelan ludah kelu. Buru-buru kutenggak habis minumanku yang masih tersisa. "Sungguh tidak perlu, Sean."
Untuk sesaat tadi aku melihat perasaan terluka di matanya akibat penolakanku. Hanya sesaat, hingga aku yakin kalau itu hanya ilusi yang terjadi akibat harapan bodoh yang ada di dalam hatiku yang tolol.
Tentu saja aku tahu kalau dia hanya merasa tidak enak karena melihat sahabatnya duduk sendirian disini. Nyaris seperti wanita kesepian. Nyaris? hatiku tertawa miris. Aku memang sedang kesepian.
"Bukankah seharusnya kau pergi dengan Karmen?"
"Aku sudah memanggilkannya taksi."
Aku menelan rasa sakit itu, menekannya jauh-jauh ke dasar, lalu bangkit dari duduk dan mengambil tas dan juga jaket yang tersampir di kursi. "Lagipula aku juga sudah ingin pulang." Aku mengecup pipinya sekilas lalu tanpa menunggu jawaban berjalan keluar mendahuluinya. Tapi aku tahu ia mengekori dari belakang. Dalam jarak selangkah di belakang, aku masih bisa merasakan panasnya membakarku.
"Baiklah. Aku akan mengantarmu," ucapnya.
Aku berbalik menatapnya saat kami sudah berada di luar. "Tidak. Sungguh. Kau tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku sudah besar, kau tahu. Aku bisa pulang sendiri." Angin dingin bulan Desember menerpa wajahku. Ujung hidungku terasa membeku. Aku memeluk diriku sendiri saat angin kian menembus kulit walau sudah merapatkan jaket. Tulangku terasa bergemeretak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secrets Between Us
RomanceSamantha dan Sean bersahabat sejak dua belas tahun yang lalu. Tapi selama dua belas tahun itu masing-masing menyimpan rahasia.