Stupidity

5.1K 397 11
                                    

"Gue udah bilang, tinggalin dia! Lo tuh lulusan S2 terbaik di Harvard, cantik, jangan mau jadi bego karena cinta lah Lyn!"

Jocelyn hanya bisa menatap sahabatnya dengan tatapan memohon. Mereka sedang berada di sebuah café saat ini, dan suara kencang Jane membuat mereka menjadi pusat perhatian. Jane mengangkat kedua tangannya, pertanda kesal dengan permohonan Jocelyn. Tampaknya kesabaran Jane telah mencapai titik maksimalnya.

"Gue ga bisa, Jane," kata Jocelyn kesekian kalinya pada sahabatnya. Jane mendengus keras.

"Kenapa? Cinta? Bullshit lah! Lu lebih cinta dia dari hidup lu sendiri?

Kalau iya gimana, Jane?, batin Jocelyn.

"Bukan begitu, tapi..."

"Tapi dia perlakuin baik juga, selepas kalo gilanya kumat? Iya?"

Jocelyn terdiam. Tangannya saling terkait dan saling meremas, pertanda dirinya gugup. Jocelyn menggigit bibir bawahnya sendiri karena tidak tau lagi balasan apa yang harus diberi pada sahabatnya. Jane melunak melihat Jocelyn, juga menyesalkan apa yang cinta telah perbuat pada sahabatnya. Sungguh, dulu Jocelyn bukan tipe yang seperti ini. Jocelyn memang pendiam dan kalem, tetapi Jocelyn bukan penakut. Jocelyn selalu tau apa yang diingininya, dan akan berusaha keras untuk mendapatkan hal itu dengan caranya sendiri. Hingga akhirnya, Jocelyn bertemu dengan Andrian, prianya saat ini, delapan tahun yang lalu.

"Sorry, Lyn, gue ga maksud mojokin. It's just.."

"It's okay Jane. Mungkin lo benar, I'm that stupid, but I can't leave him. Okay?" kata Jocelyn lembut. Jane menghela nafasnya kasar, habis akal untuk meminta Jocelyn meninggalkan Andrian.

"Fine! Your choice!" kata Jane pada akhirnya. Tidak lama, ponsel Jocelyn berbunyi dan seketika raut wajahnya menjadi ketakutan.

"He's home earlier that I thought. Gue pulang dulu, Jane," kata Jocelyn panik. Jocelyn tidak lagi menoleh untuk menyaksikan raut khawatir Jane.

Aku pulang, dan tidak menemukan kamu di apartment.

Hanya satu kalimat, tapi cukup membuat Jocelyn mengerti, Andrian marah. Andrian tidak pernah suka jika tidak menemukan Jocelyn di apartment sepulangnya dia kerja. Alasan awalnya sungguh manis: Jocelyn adalah obat dari seluruh rasa lelahnya. Namun makin ke belakang, Jocelyn menemukan itu mulai mencekik.

Jocelyn mengeluarkan desahan lega saat apartment sang kekasih sudah di depan mata. Bergegas, ia menyerahkan mobilnya kepada petugas dan segera memasuki lift. Kakinya menghentak gugup seraya mengamati lantai demi lantai yang terlewati. Sialan, lantai 53 terlalu tinggi. Tiap detik bisa menyulut kemarahan Andrian.

Jocelyn bahkan bisa merasakan dirinya setengah berlari ketika pintu lift terbuka. Dengan kartu aksesnya, Jocelyn segera membuka pintu apartment.

Dingin, itu kesan pertamanya. Dingin hingga membuat bulu kuduknya merinding. Jocelyn lupa, mulai kapan apartment penuh kenangan ini terasa begitu mencekam. Dulu, apartment ini pernah terasa begitu hangat, begitu nyaman.

"Habis darimana?"

Jocelyn yakin dia berjengit saat mendengar suara Andrian. Demi Tuhan, ini Andrian! Pria yang dicintainya! Mengapa ia setakut ini pada prianya? Jocelyn berusaha menetralisir detak jantungnya, meredakan ketakutannya, dan mengingatkan dirinya untuk tetap tenang.

"Ketemu Jane, di café biasa. Sorry, aku lupa kabarin kamu," kata Jocelyn dengan nada menyesal, seraya mendekati Andrian yang tampak kelelahan. Jocelyn kemudian melepaskan ikatan dasi pada leher Andrian, mengelus sebentar dada pria itu, sebelum mengecup bibirnya singkat.

Stupidity (oneshoot)Where stories live. Discover now