06. Raka di Bulan Februari

120 23 6
                                    

Aluna tidak tahu bagaimana ia harus melampiaskan kekesalannya pada Kak Denis yang tidak kunjung menjemputnya setelah 20 menit terlambat dari waktu yang telah ditentukan. Walaupun dia bisa saja menaiki bus transjakarta yang masih beroperasi di jam ini, sekaligus transportasi yang paling memungkinkan untuk ditemukan. Gadis itu, dengan perasaan tidak nyaman, kembali merapatkan jaketnya sambil melirik ke sekelilingnya. Tidak pernah ia berada di luar rumah selarut ini.

Beberapa orang yang berlalu-lalang di depannya adalah orang yang sedang dalam perjalanan pulang kerja, mungkin hanya Aluna yang hanya mengenakan seragam di halte yang lengang itu. Dan bagi Aluna yang penakut, orang-orang yang lewat merupakan orang berbahaya tanpa pengecualian.

"Eh kamu, kok jam segini masih pakai seragam?"

Baru saja Aluna akan berteriak, namun urung karena ia mengenali wajah seseorang yang menyapanya.

"Allahuakbar, Raka! Ngapain?" Bukannya menjawab, Aluna malah kembali bertanya.

Laki-laki itu duduk di sampingnya. "Mau jemput Mama. Biasanya Mama turun di halte ini, terus ntar tinggal jalan aja. Rumah aku di belakang bank itu," jawabnya seraya mengacungkan jari telunjuknya entah ke arah mana, Aluna tidak begitu ingin tahu.

Raka, Danadyaksa Caraka, anak laki-laki itu merupakan siswa pindahan dari Solo yang juga teman sekelasnya. Seingatnya dia baru pindah seminggu yang lalu, dan tidak begitu dekat dengan dirinya karena mereka tidak berbicara banyak, hanya pembicaraan antara teman sekelas yang tidak dekat.

Di hari pertama kedatangan Raka, dia sudah begitu menarik perhatian karena postur tubuh, prestasi, dan sifatnya yang supel sehingga tak sulit baginya untuk mendapatkan teman.

"Kamu sendiri?"

"Nungguin kakak, tapi belum dateng juga."

Lengang.

Hanya terdengar suara deruan kendaraan bermotor dan mesin mobil yang tidak akan pernah berhenti hingga nanti.

"Raka, kamu mau temenin aku di sini dulu, nggak?"

Raka menoleh. "Kenapa?"

Sejenak Aluna merasa jantungnya berdebar lebih kencang setelah melihat wajah Raka yang diterpa lampu jalanan, membuat garis dan fitur wajahnya terlihat amat jelas.

"Ta- takut sendirian, ngerasa nggak aman aja. Makanya kamu di sini aja, jagain aku sampai aku dijemput." Aluna meringis, harap-harap cemas menunggu jawaban Raka karena ia tak kunjung menjawab, malah tak menunjukkan ekspresi apapun.

"Oh ya!" Aluna membuka tas ranselnya dan merogoh-rogoh untuk mencari sesuatu di dalamnya, sedangkan kedua mata Raka mengikuti gerak-gerik Aluna.

Gadis itu mengeluarkan sebungkus coklat batangan.

"Nanti kukasih coklat. Sekarang hari valentine, kan? Happy valentine's day!" ujarnya sambil mengulurkan sebungkus coklat utuh itu pada Raka.

Raka terkekeh, namun tangannya tetap terulur untuk menerima coklat itu. "Ini serius?" tanyanya.

"Sebenarnya semacam suap, tapi berhubung momennya pas, kenapa nggak? Padahal tadinya mau aku makan sendiri." Aluna mengangkat bahu.

"Kalau gitu bagi dua," ujar Raka sembari membuka bungkus luar coklat tersebut dan memotongnya sama rata. Aluna mengangguk semangat.

Dan malam itu keduanya berbagi cerita hingga tanpa sadar Aluna hanyut dalam untaian kata, senyum, dan segala hal tentang Raka. Dalam, semakin dalam, ia tak dapat menolong dirinya yang terlanjur tenggelam ke dalamnya.

Alluring AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang