Cerita

9 2 1
                                    

Alia berdiri dengan gelisah di depan pintu masuk ruang kepala Sekolah. Beberapa anak lain juga berdiri di sekitar sana. Nabila mengelus pundak Alia yang semakin tampak tak tenang saja.

Sudah 1 jam sejak Brilian dan Mamanya masuk ke ruangan itu.

Dia benar-benar penasaran, apa yang mereka bicarakan. Apa hukuman Brilian sudah di tentukan? Apa Brilian akan di keluarkan?

Alia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri, jika hal itu terjadi.

Al jadi benar-benar berharap punya sebuah robot dengan kantong ajaib sekarang. Seandainya saja yang semacam itu memang ada.

Alia menggigit bibirnya, menanti-nanti.

Pintu ruangan itu terbuka, menampakkan perawakan tinggi besar Pak Herman.

"Alia Rachma Negara, silahkan masuk." Ujar beliau.

Nabila mengelus pundak Alia khawatir. Alia menghembuskan napasnya meyakinkan diri. Dia tidak takut. Tapi jujur dia gugup. Untuk pertama kalinya Alia memasuki ruang Kepala Sekolah, untuk menjadi saksi di persidangan.

Dia berjalan dengan banyak rasa syukur, sembari mengumpulkan setiap keping keyakinannya.

Alia di persilahkan duduk di sebuah kursi di ujung.

Dengan jelas dia bisa melihat Kepala Sekolah yang berhadapan dengannya.

Brilian dan mamanya duduk di sisi kiri.
Sedangkan Pak Gunawan di sisi kanan.

Brilian tampak biasa saja di sana, tidak terlihat tegang apalagi takut. Begitu pula dengan Mamanya. Beliau bahkan sempat tersenyum ramah pada Alia. Seolah tidak ada hal buruk yang sedang terjadi. Alia benar-benar kagum pada ibu dan anak itu. Benarkah mereka memang baik-baik saja. Atau berusaha terlihat baik-baik saja.

Berbeda jauh dengan Pak Gunawan yang pasang ekspresi seperti kanebo kering. Kaku sekali.

Sedangkan Kepala Sekolah tampak gusar dan lelah.

Pak Herman berdiri di belakang Kepala Sekolah, sesekali berjalan memutar seperti memantau ekspresi semua orang. Keberanian yang Alia kumpulkan susah payah, jadi goyah. Namun tak akan Alia biarkan itu runtuh.

"Alia Rachma Negara. Pada saat kejadian kamu ada di sana. Dan beberapa orang saksi mengatakan bahwa awal keributan berasal dari kamu. Dengan kata lain mereka menyatakan bahwa kamu memprovokasi. Apa tanggapan kamu untuk itu." Tanya Pak Herman.

"Saya tidak memprovokasi siapapun." Jawab Alia.

"Tolong berikan kesaksiaan kamu, sesuai fakta yang kamu lihat pada saat itu."

"Siang itu sekitar pukul 12.05, saya baru kembali dari perpustakaan. Saya melihat Brilian sedang di hukum di tengah lapangan, hormat pada bendera di tengah panasnya hari kemarin. Bahkan AC di ruang perpustakaan saja sudah sampai ambang batas, tapi gerahnya masih terasa. Baju Brilian basah karena keringat, wajahnya merah terbakar matahari. Tapi itu memang harga yang harus dia bayar, untuk kesalahan yang dia sadari."

"Alia, kami minta kamu menceritakan awal mula kejadian tragedi kemarin. Bukan bagaimana pendapat kamu untuk hukuman yang Brilian dapat. Tolong jangan mengulur-ulur waktu." Sela Kepala Sekolah.

"Saya tidak mengulur waktu, Pak. Saya sedang menceritakan awal mula kejadian. Saya ingin menunjukkan sejelas-jelasnya apa yang saya lihat dan apa yang saya rasakan. Dari awal, hingga akhir. Saya harap, dengan ini Bapak bisa melihat dari banyak sudut pandang, dan memutuskan dengan bijak." Balas Alia. Sebut saja kali ini ia tak sopan. Tapi ia tak mau tahu. Alia ingin semua orang keluar dari emosi, dan berpikir dengan jernih.

Lalaland-nya BrilianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang