07. Ketahuan

132 25 2
                                    


Tidak ada yang tidak suka hari Minggu, tanpa terkecuali Aluna. Dia tidak harus berlomba-lomba dengan sang fajar untuk menentukan siapa yang terjaga lebih dulu, dan tentu saja, Aluna tidak perlu bekerja. Hari Minggu memang selalu tentang malas-malasan.

Tapi tidak dengan minggu ini.

Sudah sejak seminggu yang lalu Aluna dan teman sekolahnya dulu berjanji untuk pergi bersama di akhir pekan. Hasna namanya. Dengar-dengar perempuan yang selama setahun pernah menjadi teman sebangkunya itu akan menikah bulan depan, jadi Aluna berinisiatif untuk mengajaknya hangout. In case Hasna akan lebih sulit diajak pergi jika sudah berkeluarga.

Mama menatap heran Aluna yang sudah rapi di Minggu pagi seolah-olah itu adalah hal yang langka. Biasanya di jam seperti ini anak perempuan satu-satunya itu masih bergelung di bawah selimut, enggan menjawab ketika dipanggil untuk sarapan, dan baru akan bangun dengan wajah super berantakan saat menjelang siang. Meskipun awalnya Mama tidak terima dengan kebiasaan buruk Aluna, pada akhirnya ia memakluminya. Karena pekerjaan Aluna itulah yang membuat Aluna selalu memilih tidur lebih lama di akhir pekan.

"Selamat pagi, Papa! Selamat pagi, Mama! Selamat pagi, dunia!" sapa Aluna riang sembari berjalan menghampiri mereka yang tengah menikmati sarapannya di ruang makan. Ia lekas mencium pipi papa dan mamanya sambil tak lupa mencomot sepotong roti bakar isi telur ceplok yang selalu menjadi sarapan keluarga ini.

"Papa, coba kita lihat ke jendela, lalu pejamkan mata dan tarik napas dalam-dalam," ujar Aluna yang disertai desahan pelan papanya. Namun pria paruh baya itu tetap mengikuti kata Aluna.

"Udah tarik napas, lalu?" tanya Papa geli.

"Anything but kentut. Papa suka salah, sih. Kalau tarik napas dari hidung tuh dikeluarinnya lewat mulut, bukan malah kentut."

Papa terkekeh membenarkan perkataan anak perempuannya. Sedangkan Mama hanya geleng-geleng, lalu menyuruh Aluna untuk segera menghabiskan sarapannya.

"Luna mau kemana pagi-pagi sudah rapi begini?" Sambil mengunyah sarapannya, Papa bertanya.

Aluna tersenyum. Senang sekali mengobrol dan bercanda bersama papanya. Papa Aluna, Bramantyo, adalah seorang polisi yang sudah puluhan tahun bekerja di Badan Reserse Kriminal. Jika sedang banyak kasus, akan sulit melihat batang hidungnya. Seperti saat ini. Dalam satu bulan terakhir Aluna bahkan hanya bertemu papanya 2 kali.

"Luna mau ketemu Hasna. Papa ingat Hasna, nggak?"

Papa tampak berpikir, mengingat-ingat wajah teman-teman anaknya yang sering berkunjung ke rumah. Kemudian ia mengangguk seraya menjawab, "yang anaknya Pak Rasyid itu?"

"Iya, yang ayahnya kerja di Polres. Dia mau nikah, lho."

"Tau, kok. Calon suaminya kan polisi juga, polisi muda. Ganteng dia, salah satu lulusan terbaik Akpol."

Mama yang baru kembali dari dapur untuk membuat jus mencibir, "Kalau mama sih nggak mau Aluna menikah sama polisi. Kasihan ntar dia ditinggal-tinggal terus. Anaknya kan manja."

"Yeeee, siapa juga yang mau nikah sama polisi." Aluna balas mencibir.

"Tuh, mama kamu mau nikah sama polisi kaya Papa," sahut Papa.

"Itu kan karena dijodohin sama bapaknya mas," kilah Mama.

"Gapapa, Pa. Jangan sedih, nggak ada polisi sekeren Papa. Lain cerita sih kalau polisi di luar negeri, apalagi polisi Dubai. Ugh, ganteng banget." Aluna menimpali dengan maksud menghentikan perdebatan kecil oranguanya. Mereka berdua sering sekali bertingkah seperti anak kecil ketika sedang bersama, namun Aluna pun sadar bahwa mamanya sering terlihat kesepian saat Papa pergi bertugas.

Alluring AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang