4. Aconite

228 30 39
                                    

 Aku menolak tawaran Illana untuk pulang bersama. Aku tidak ingin merepotkan dirinya lagi setelah dia dengan suka rela meminjamkan baju olahraganya untuk kupakai. Aku sudah membersihkan diri di kamar mandi dan mengganti seragamku yang kotor. Meski masih ada sisa bau amis telur, tapi ini sudah lumayan dari pada aku harus pulang dalam keadaan berbalut tepung dan telur.

"Benar kamu nggak mau aku antar sekalian pulang?" tanya Illana sekali lagi sebelum masuk ke dalam mobil jemputannya.

"Nggak usah, Lan. Makasih. Aku bisa naik bis," tolakku untuk sekian kali.

"Tapi wajahmu masih pucat gitu, Tha. Yakin mau naik bis?"

Aku mengangguk mantap. Lebih baik aku naik bis, lagi pula rumahku berada di sebuah perkampungan yang memiliki gang sempit yang hanya bisa di lalui dua motor yang berpapasan. Mobil Illana tentu tidak akan bisa masuk ke sana.

"Ya, sudah. Kamu hati-hati ya?" Illana membuka pintu belakang mobil dan masuk. Dia lalu membuka kacanya untuk sekadar melambaikan tangan kepadaku sebelum mobil itu bergerak menjauh.

Illana sepertinya anak orang kaya. Dilihat dari mobil mewah yang selalu mengantar-jemputnya. Aku tidak tahu banyak tentang jenis-jenis mobil, hanya saja aku tahu jenis mobil yang dipakai Illana bukan jenis mobil yang jamak berseliweran di jalan. Entah. Aku sendiri belum pernah main ke rumah Illana. Dia pernah mengajakku beberapa kali untuk mampir, tapi aku menolaknya.

Mobil Illana sudah menghilang dari pandanganku. Menyisakan aku yang berdiri di dekat pintu gerbang sekolah. Seragam kotorku sudah masuk ke dalam kantong plastik. Aku ingin segera pulang dan merebahkan diri di atas kasur. Rasanya kepalaku masih sedikit pusing.

Aku memijat pelan dahiku lalu menyadari satu hal. Aku tidak memakai kacamata. Pasti kacamataku terjatuh tadi saat Jennifer dan teman-temannya menyeretku ke belakang sekolah.

Bagaimana ini? Jika kacamata itu sampai hilang, butuh waktu berminggu-minggu lagi untuk menggantinya dengan yang baru. Aku tahu harga sebuah kacamata tidaklah murah. Apalagi untuk ukuran Mbah Putri yang hanya seorang penjual makanan di kantin sekolah dasar di dekat rumah.

Maka, kuputuskan untuk kembali ke dalam sekolah yang sudah sepi. Langkah kakiku langsung menuju ke areal belakang di mana mereka tadi mengikatku. Meski pandanganku memburam dan sedikit tidak jelas, aku tetap berusaha mencari benda itu di sekitar lapangan basket yang sudah tidak terpakai ini.

Aku membungkuk, berusaha melihat ke atas tanah lebih dekat. Namun, hasilnya tetap nihil. Aku tidak menemukan kacamataku di mana pun.

"Mencari ini?" Sebuah suara bariton tiba-tiba menyentakku dari belakang.

Sedikit terkejut aku menoleh. Seorang siswa bertubuh kurus dengan tinggi kira-kira dua jengkal di atasku. Dia memakai jaket denim berwarna biru dongker. Sedangkan wajahnya, aku tidak bisa melihat begitu jelas bagaimana rupanya karena posisinya yang cukup jauh dariku dan membelakangi matahari.

"Apa?" tanyaku balik. Aku tidak mengerti apa maksud dari pertanyaannya.

"Mencari benda ini?" Dia melangkah lebih dekat.

Setelah berjarak dua langkah di depanku, baru aku bisa melihatnya. Siswa itu mengulurkan sebuah benda yang sedang kucari; kacamata milikku. Aku bersorak dalam hati.

Aku mengambil benda itu dari tangannya. Mengusap bagian lensanya sebentar dengan ujung kaos kemudian buru-buru memakainya.

"Makas—" ucapanku terpotong ketika aku merasakan ada yang salah pada kacamataku. Rasanya sedikit tidak nyaman untuk dipakai.

"Sedikit bengkok," kata siswa tersebut membuatku mendongak untuk melihat wajahnya.

Aku terperanjat. Siswa yang ada di hadapanku sekarang dan menunjuk depan mataku adalah Arun Pawana. Meski aku hanya beberapa kali melihatnya, tapi wajah Arun adalah tipe yang sulit untuk tidak dilupakan walau hanya dilihat sekilas.

Whispering Wind (republished) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang