Bab 9 Cikal dan Psikoterapi

29 2 0
                                    

 

    Aku sudah bolos sekolah selama beberapa hari, karena aku tak dapat menggerakkan tubuhkku.

    Aku telah mati.

    Tentu saja, itu hanya sekedar kiasan. Dari sudut pandang biologis, aku sangat hidup dan masih mampu berpikir.

    Namun, ada luka di dadaku yang terbelenggu dengan masa lalu. Selama aku memiliki luka ini, aku akan terus terbawa kembali ke hari itu.

    Manis Kemuning akan terus mencungkil semua yang aku miliki. Kebahagianku, kesedihanku, keraguanku, impianku. Ia menginjak-injak semua itu dan menyapunya hingga bersih.

    Satu-satunya yang masih aku miliki adalah perasaan dari insiden itu. Perasaan yang akan memberiku tempat kemana pun aku pergi dan berapa lama pun aku tunggu.

    Oleh karena itu, aku dirantai di suatu tempat, dilarang untuk bergerak menuju masa depan.

    Oleh karena itu, hidupku telah terhenti.

    Oleh karena itu, aku dapat dikatakan telah mati.

    Sialan!

    Aku telah dikalahkan olehnya.

    Sekarang, bagaimana caranya aku hidup? Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus terus hidup tahun demi tahun bersama dengan rasa sakit di dadaku?

    Bagaimana caraku menjawab semua pertanyaan itu?

    “Cikal? Tante boleh masuk nggak?”

    Ketukan pintu yang dibarengi dengan suara lembut tanteku menyeretku kembali ke dalam kenyataan.

    “Ah... iya. Masuk aja, tante. Nggak di kunci, kok.”

    Setelah mendengar jawabanku, ia masuk ke kamarku sembari membawa nampan dengan semangkuk bubur di atasnya.

    Kepedihan atas rasa bersalahku menjadi lebih kuat. Aku berpura-pura sakit dan menyembunyikan alasanku sebenarnya atas ketidakhadiranku ke sekolah. Aku tidak ingin mengkhawatirkan Tante dengan mengatakan padanya kalau sebenarnya aku terkena gangguan mental. Jadi aku bilang padanya kalau aku merasa pusing dan sakit kepala.

    “Kepalamu masih sakit?” tanyanya setelah ia menempatkan nampan di mejaku.

    “Iya.”

    Hati nuraniku menikam diriku. Aku telah berbohong padanya. Tapi, aku tak punya pilihan lain. Semoga saja ia mau memaafkanku.

    “Yakin, kamu nggak apa-apa? Ini sudah tiga hari, loh. Apa lebih baik kita ke rumah sakit saja?”

    “Nggak, nggak perlu.”

    Dia menatap diam-diam wajahku selama beberapa saat, dan akhirnya mengangguk dengan senyum lembut.

    Senyumnya memicu anggapan samar dalam diriku. Mungkin ia sudah mengetahui kalau aku berbohong. Namun, ia berpura-pura tidak tahu.

    “Cikal? Ini hari rabu, kan?”

    “Mmm... ah, iya.”

    “Apa kamu ingin membatalkan janji minggu ini dengan Dokter Mira? Aku bisa menghubunginya kalau kamu mau.”

    Normalnya, aku harus pergi untuk melakukan terapi mental. Tapi, karena aku sedang berpura-pura sakit, aku tidak boleh ketahuan.

    “Iya. Tolong hubungi dia, Bu.”

    Tepat sebelum aku selesai berbicara, matanya melebar. Terkejut dengan reaksinya, aku berusaha mengingat kata-kata yang aku ucapkan tadi.

    Ah... aku memanggil Tante dengan sebutan ‘ibu’.

Bunuh DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang