Bab 12 Delusi dan Pembicaraan Empat Mata Tentang Karma

21 2 0
                                    

"Dok, aku berpikir untuk berhenti saja dari perawatan ini."

Dokter Mira menatapku, sedikit heran, dan bertanya.

"Kenapa?"

"Saat itu, aku datang ke sini karena aku membutuhkan bantuan, kan?"

Dia memberi anggukan kecil.

"Jadi, kamu mau bilang kalau kamu tidak lagi membutuhkan bantuan?"

"Iya. Depresi yang aku miliki dulu telah hilang, dan begitu juga keengganankku untuk berbicara dengan orang lain," aku menjelaskan padanya dan memutuskan untuk menambahkan sesuatu yang aku alami minggu lalu saat aku sedang menunggu di sini.

"dan aku tidak akan keluar dari ruangan ini sambil berteriak."

Beberapa kerutan tampil di wajahnya.

"Siapa," katanya setelah jeda singkat.

"yang kamu bicarakan?"

"Aku sedang membicarakan anak laki-laki yang sering datang ke sini tepat sebelum giliranku tiba. Kalau aku ingat benar, ia mengenakan seragam sekolah SMA Gerhana. Minggu lalu dia menabrakku. Siapa namanya?"

"... Maaf, aku rasa, aku tidak bisa membocorkan indentitas klienku."

"Bahkan meskipun hanya namanya saja? Yah, terserahlah. Kalau dipikir-pikir, aku belum melihatnya akhir-akhir ini."

Wajahnya seketika menjadi gelap.

"Dia tidak akan... datang lagi."

"Benarkah?"

"Iya," dia mengangguk.

Aku ragu dia akan menghentikan pengobatan mental dalam kondisi seperti itu. Apakah sesuatu terjadi padanya?
Melihat bagaimana dia lari berteriak, pasti ada alasan mengapa dia tak mau lagi datang ke sini.

Tapi aku punya perasaan aneh tentang hal ini.

Anak itu adalah murid dari SMA Gerhana. Mengingat dia berada di bawah perawatan mental, lebih dari cukup untuk memiliki alasan bunuh diri, jadi mungkin dia termasuk dari salah satu orang yang menjadi korban bunuh diri.

Melihat ekpresi pahit yang ditampilkan Dr. Mira, ia pasti tahu sesuatu. Aku menahan diri untuk bertanya lebih jauh, sebab kepribadiannya tidak akan memungkinkannya untuk menjawabku.

"Tadi kamu bilang ingin menghentikan perawatan ini?" tanyanya, kembali pada topik.

"menurutku, itu terlalu dini."

"Aku tahu, Dok. Memang benar lukaku belum sembuh. Tapi, aku tidak lagi mempermasalahkan luka ini,"

"Bukan itu masalahnya. Luka ini akan menemanimu seumur hidupmu, dan kamu tidak akan bisa kembali lagi ke dirimu yang dulu. Dirimu yang sebelum menerima luka ini."

"Lalu, dimana letak masalahnya?" tanyaku.

"Aku ragu untuk mempercayai kata-katamu kalau kamu telah pulih dari trauma."

"Tapi, Dok. Masa aku harus terus-terusan datang ke sini selama sisa hidupku?"

Dr. Mira berhenti sejenak. "Masih... masih terlalu dini."

Masih terlalu dini, katanya?

Oleh karena itu, aku keberatan.

"Dok. Biarkan aku berkata jujur. Kami bukan berasal dari kalangan keluarga kaya. Biaya yang dikeluarkan untuk terapi psikologi ini cukup membuat kantung kami jebol."

Bunuh DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang