SATU

41 4 1
                                    

"assalamualaikum."

Sosok yang gue tunggu-tunggu akhirnya datang. Gue menghela nafas lega. Kang Daniel, atau yang biasa gue panggil kak Danik sudah berdiri di balik pintu sambil tersenyum. Gue ngga bohong, aura kak Danik makin bertambah setiap tersenyum.

"Waalaikumsallam, kak." Gue membalas senyuman kak Danik. Posisi gue masih seperti awal, duduk di depan sofa sambil memainkan sebuah pulpen di tangan kanan gue. Hari ini gue memang sudah janjian sama kak Danik buat ngajarin gue pelajaran fisika dan kimia.

Bohong kalau gue ngga seneng, buktinya dari tadi gue masih senyum-senyum ngga jelas sambil memperhatikan kak Danik yang masih mencopot sepatunya. Entah kenapa gue lebih semangat belajar fisika kimia dirumah bersama kak Danik dibandingkan belajar fisika bersama guru dan teman-teman gue tentunya.

"Materi apa yang kamu ngga ngerti?."

Kak Danik sedikit memicingkan matanya melihat beberapa buku-buku gue yang sudah siap. Jujur, gue memang ngga bisa langsung mengerti kalau sudah berhubungan dengan fisika atau kimia, beda dengan kak Danik yang otaknya seratus persen ngga usah di tanya.

"Semua." Balas gue ditambah cengiran yang membuat kak Danik terkekeh sambil menggelengkan kepalanya.

"Padahal kemarin sudah kakak jelasin loh secara detail, masa kamu masih ngga ngerti aja sih?."

Gue cuma mengangkat bahu, gue jujur kok memang gue masih belum paham seratus persen. Gue tahu kak Danik capek ngajarin gue, pasti!. Gue yakin kak Danik bingung mau ngajarin gue gimana lagi supaya gue bisa. Tapi apa? Memang kenyataannya seperti ini.

Gue lihat, kak Danik memijat pelipisnya. Sebegitu susahnya kah ngajarin gue?.

"Maaf kak, buat kakak capek ngajarin aku." Gue nunduk, gue mau nangis aja rasanya. Ngga tega lihat kak Danik kecapean karena ngajarin gue.

"Its okay, kakak ngerti kok. Justru kakak bangga sama kamu, kamu mau berusaha mengerti. Kakak ngga ngerasa capek kok, justru kakak seneng." Kak Danik tersenyum.

Senyuman itu yang bikin gue semangat, senyuman itu yang bikin gue tiap hari seperti orang gila, senyuman itu yang bikin gue merasa terbang.

"Okay! Waktunya belajar." Kak Danik langsung menyambar buku gue dengan semangat. Gue tertawa pelan, kelakuannya benar-benar bikin gue gemas. Gue gemas sama gigi kelincinya, gue gemas sama matanya yang menyipit ketika tersenyum.

Gue ngga bisa ngebayangin gimana jadinya gue terus bersama kak Danik. Jujur aja, saat ini gue sudah bahagia. Gue sangat berterimakasih kepada kakak gue –Mas Minhyun, yang sudah memperkenalkan dia.

"Kamu ngelamunin apa?."

Lamunan gue buyar ketika kak Danik bertanya sambil menatap gue intens. Sekarang gue ngerasa malu, pasti kak Danik ngira kalau gue sedang sakit makanya senyum-senyum terus dari tadi.

"Engga ko, kak!. Aku ngga ngelamunin apa-apa." Jelas gue sambil cengengesan sedikit gugup. Sebuah senyuman lagi sebagai balasannya. Kapan senyuman itu bikin gue ngga nge-fly terus sih?.

"Hey!. Kamu paham ngga materi yang barusan kakak jelasin?."

Gue sedikit menggelengkan kepala sambil menggaruk tengkuk. Kak Danik hanya tersenyum, gue tahu banget itu senyuman pasrah.

"Kakak jelasin sekali lagi ya, abis itu kakak kasih kamu soal." Gue cuma ngangguk setuju. Kali ini gue harus benar-benar ngerti, gue ngga mau bikin kak Danik kecewa sama gue.

Kak Danik menjelaskan secara perlahan. "Jadi kalau sudah ketemu massa-nya kamu bisa cari berapa kecepatan benda tersebut," kak Danik terus menjelaskan materi yang ngga gue mengerti.

Gue lihat raut wajahnya mulai berubah, kak Danik kayanya udah mulai capek karena terus-menerus menjelaskan semuanya agar gue paham dan bisa. Gue tersenyum ketika kak Danik sedang mencari soal buat gue kerjakan.

"Kamu kerjakan sebisa kamu, kalau ngga ngerti bisa tanya kakak."

Belum ada lima menit kak Danik jelasin, semua yang ada di otak gue hilang ketika melihat kak Danik yang sedang serius berkutik dengan ponselnya. Pemandangan yang luar biasa menurut gue. Ketampanannya bahkan bertambah menjadi dua kali lipat.

"Kak Danik, aku ngga paham sama rumusnya loh." Gue menjambak rambut frustasi. Rambut gue loh, bukan rambut kak Danik.

Kak Danik tersenyum kemudian mendekat ke arah gue. Saat ini gue hanya fokus mengontrol kecepatan detak jantung gue. Gue ngga bisa fokus kalau kaya gini posisinya. Heol!!

"Mana yang ngga kamu ngerti, hm?."

Ya Tuhan! Demi sempak hello Kitty-nya Justin, deru nafas kak Danik yang menyapu leher gue sukses bikin gue gagal fokus untuk yang kesekian kalinya. Tolong jangan bangunin gue kalau ini cuma mimpi!.

"Aku masih ngga paham kalau yang ini." Gue menunjuk beberapa nomer yang emang gue ngga paham.

Kak Danik semakin mengikis jarak di antara kita. Bahu gue udah nempel sama bahu lebar kak Danik. Sialan! Gue masih ngga bisa fokus ketika bola mata gue ngga sengaja menangkap pemandangan bibir sexy kak Danik.

Sialan, jantung gue merasa maraton. Bisa gue rasain pipi gue mememanas dari tadi. Oh shit! Kak Danik ngga boleh sampai lihat, bisa malu gue.

"Heh!. Ara, bang Daniel, bisa aja lu berdua modusnya!."

Terimakasih banyak buat Justin, kembaran tersayang gue. Pengen peluk aja rasanya. Kak Danik sontak langsung menjauhkan badannya sambil tersenyum. Begitupun gue, pipi gue sudah ngga terlalu merah di bandingkan tadi.

"Bisa aja Lo ketek anoa modusnya!." Justin menoyor kepala gue. Sialan, Justin bego! Siapa coba yang modus sama kak Daniel?, Nyebelin!.

"Dasar sok tahu lo!, Gue ngga modus nying!. Tadi tuh ngga sengaja. Tanya aja sama kak Danik-nya." Ketus gue.

Kak Danik mengangguk sembari membenarkan kejadian yang tadi, "Tadi beneran ngga sengaja kok."

Gue udah hafal banget sifat Justin, dia ngga bakal mau kalah kalau sudah beradu argumen, dia ngga mau di salahin meskipun salah sekalipun, tapi gue tetep mewajarkan sifatnya selagi masih tahu batas.

"Tetep aja Lo berdua mencari kesempatan di dalam kesempitan."

"Justin, Lo ko nyebelin amat sih!. Bukan temen gue Lo!." Gue mendorong kasar bahunya. Kak Danik yang melihat kelakuan gue cuma bisa terkekeh sesekali tertawa.

"Kita emang bukan temen, tapi kita saudaraan, Ra!." Koreksi Justin.

Gue berdecih, kadang gue sebel banget sama kelakuannya yang suka mengkoreksi omongan gue.
"Kita bukan saudaraan!."

"Yeh terah lo, awas lo minta traktir makan sama gue lagi!." Ancaman Justin sukses buat gue mikir dua kali. Gue ngga bisa kalau di giniin.

"Justin baik deh, kita saudaraan. Lo kembaran gue yang paling ganteng." Justin mencibir. Bibirnya sengaja di majukan membuat gue gemas ingin menabok.

"Justin ih!, Gue serius tauk!."

"Jangan dibawa serius, nanti Lo baper sama gue berabe, Ra." Baru aja gue mau nabok bibirnya, dia langsung menjauh dari gue. Dasar Justin kampret!.

T B C

STAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang