Ancaman

373 25 1
                                    

Aku harus menghadapi mereka. Aku adalah laki-laki. Laki-laki tidak boleh menjadi pengecut di depan siapapun. Laki-laki tidak boleh menangis.


Hari-hari terasa lambat bagi Banzai. Dia semakin malas saja bersekolah. Geng Juara sama sekali tidak menegurnya, tidak meminta maaf dan mungkin saja mereka tidak menganggap Banzai ada. Di titik ini dia yakin sekali bahwa Geng Juara murni hanya berniat mengerjainya saja. Dan itu mereka lakukan dengan mulus, ditambah lagi nama besar mereka terkenal sebagai segolongan anak baik-baik yang mustahil nakal.

Dia juga tidak menghiraukan siapapun, termasuk ketika Mala berusaha terus untuk mengajaknya berbicara.

"Banzai, kamu tidak ke kantin?"

"Zai, kamu bisa soal yang ini tidak?"

"Zai, pulang bareng aku yuk."

Pembicaraan apapun yang dicoba oleh Mala, selalu hanya dibalas keheningan oleh Banzai. Melirik pun tidak. Kecuali di satu kondisi. Ketika Mala dengan gemetar ketakutan menunjuk ke kerah Banzai.

"Zai... Ada kecoa di bajumu..."

Tak disangka, respon Banzai berlebihan untuk ukuran laki-laki. Dia melonjak, berteriak-teriak, menepuk-nepuk kerah kemejanya dengan heboh.

"Mana?! Mana?!"

Mala pun sontak tertawa. Dia merasa sedikit bersalah. Tapi ini sungguh lucu. Mendengar tawa Mala, barulah Banzai sadar kalau dia telah dikerjai.

"Makanya ta kalau diajak bicara itu disahut..." tukas Mala.

Berikutnya Banzai mendengus kasar, memajang wajah tertekuk dan keluar kelas dengan mengentakkan kaki. Melihat reaksi Banzai yang menjadi semakin marah membuat Mala cukup tertekan.

Gawat. Anak itu semakin kesal padaku. Eh, memangnya dari awal aku yang salah? Yang ada, dia itu yang memang sudah tidak jelas mood-nya.

Begitulah Banzai menjalani hari-harinya. Tidak berbicara kepada siapapun, kecuali jika mendesak seperti mengatakan "Berhenti Pak" ke kondektur bis. Bi Unah pun didiamkannya. Sampai-sampai hal ini dilaporkan oleh wanita paruh baya itu ke majikannya. Dia juga berharap kalau orangtua Banzai setidaknya mau pulang untuk menengok anak semata wayang di rumah ini itu. Sekarang, saat pulang Banzai hanya menghabiskan waktu di kamar, bermain playstation. Padahal biasanya dia akan menyempatkan waktu berada di dekat Bi Unah kalau sedang santai tidak ada pekerjaan, bercerita tentang kesukaan-kesukaannya, karena hanya Bi Unah temannya di rumah yang besar ini. Tapi kali ini Banzai merasa sama sekali tidak punya teman. Dia berpikir bahwa Bi Unah juga tidak berada di pihaknya karena Bi Unah tidak bisa membujuk orangtuanya untuk mengangkat telepon dari Banzai. Dia tidak tahu bagaimana sulitnya posisi Bi Unah. Bi Unah hanya seorang asisten rumah tangga, sama sekali tidak punya kendali atas majikannya.

Di sekolah, dia juga tidak menghiraukan siapapun bahkan apapun. Para guru dianggap angin lalu. Teman-teman--yang semuanya bukan teman-temannya--dianggap batu. Dari tidak menghiraukan aturan sekolah hingga kucing-kucing di kantin. Iya, saat ada kucing yang mendekat dan mengeong meminta jatah barang sedikit dari makanan di piringnya, dia sama sekali tidak terpengaruh apalagi iba.

Datang selalu terlambat. Ralat, sengaja terlambat. Tugas tidak pernah dikerjakan. Tidur-tiduran di kelas. Nilai ulangan semakin menurun. Selalu saja ada yang tidak beres dari baju seragamnya, entah dasinya kelonggaran, kancing atasnya banyak yang terbuka, bajunya dikeluarkan sebagian atau seluruhnya, pakai sepatu selain hitam, tidak pakai kaus kaki, ada saja deh pokoknya yang berantakan.

Para guru sudah sangat geram dengan hal ini sebenarnya. Apalagi guru BK, bosan sekali melihat wajah Banzai hilir mudik keluar masuk ruangan mereka dan mendapatkan hukuman yang berbeda-beda. Hukuman jenis apapun tidak ada yang membuatnya jera. Mulai dari membersihkan toilet sampai lari keliling lapangan hanya Banzai jalani dengan wajah yang selalu datar. Guru BK malah sampai anti memberikan hukuman skors, karena itu hanya akan membuat Banzai kegirangan, menurutnya.

Dan Banzai seperti tidak lelah dengan hal itu. Seperti hukuman-hukuman ini kini telah menjadi bagian dari hidupnya. Dia sekarang telah menjadi terkenal di sekolah ini. Hampir seterkenal Geng Juara. Murid-murid di sekolah ini memanggilnya "Pemecah Rekor Hukuman", disingkat jadi Pekor Man. Lagi-lagi Banzai tidak peduli dengan hal ini.

Mau terkenal, mau tidak, emang gue pikirin.

Sebenarnya dia melakukan ini semua agar cepat-cepat bisa dikeluarkan dari sekolah. Dia ingin kembali home schooling saja, meskipun sampai saat ini dia juga masih belum terlalu mengerti kegunaan dari sekolah.

Sekolah yang bonafit ini terkenal dengan tidak mudahnya mengeluarkan seorang siswa dari sekolah. Apalagi jika siswa tersebut selalu membayar tepat waktu. Ya, bisa dibilang sekolah ini tidak ingin kehilangan sumber uang mereka sepeserpun. Jika satu siswa keluar, maka disitulah pasti ada kerugian. Biaya operasional tetap, tapi pemasukan berkurang. Makanya Banzai sedang sangat berusaha keras sekarang. Dia tahu betul kalau orangtuanya, bagaimanapun mereka, telah membayar SPP setahun penuh hingga kenaikan kelas.

Banzai berulang kali mencoba merajuk ke orangtuanya saat akhirnya berhasil menelepon mereka, biasanya mamanya yang lebih sering mengangkat teleponnya. Dia terus meminta untuk kembali home schooling. Namun jawaban mereka selalu, "Sekarang kamu jalani dulu sekolahmu itu. Barulah saat kami bisa pulang, kita bicarakan sama-sama ya..."

Pulang? Helo... Kapan kalian pulang? Selalu hanya janji, janji, janji dan janji. Bilangnya pulang sebulan sekali, eh ternyata tiga bulan sekali. Itu dulu masih lumayan. Sekarang mereka cuma bilang, iya pulang iya pulang, nyatanya sampai hampir setahun tidak pulang-pulang. Sampai Banzai sudah capek berharap mereka pulang, tapi minimal mudah dihubungi kan sudah lumayan. Eh, ternyata ditelfon pun susah.

Banzai mengacak rambutnya frustasi. Dari kejauhan Mala mengikutinya diam-diam. Ini jam istirahat dan Mala tidak melihat Banzai di kantin, jadinya dia mencari bocah yang sudah sejak beberapa bulan lalu ini dikhawatirkannya. Mala melihat Banzai sangat kosong dan dia takut jika anak ini nekad berbuat yang aneh-aneh. Bunuh diri misalnya? Ini karena Mala dulu juga pernah berpikir untuk melakukannya, saat masih di kelas satu.

Banzai berbelok ke gang taman belakang. Disana ada sebuah bangku panjang. Dan jarang ada yang pergi kesana karena taman itu kurang terawat. Anak-anak disini kan higienis anti kotor. Cocok sekali untuk tempat menyendiri.

Saat Mala mengikuti lebih jauh, ternyata disana juga ada anak lain. Tujuh orang. Pundak Banzai sekejap menegang. Itu Geng Juara. Mereka menatap Banzai intens.

"Kalian!" geram Banzai dengan masih menyisakan keterkejutan dalam nada suaranya.

Zimmy maju ke depan dengan tangan terlipat di depan dada. "Boleh kami bicara sebentar denganmu?"

Fake FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang