Bab 16 Karma dan Air Mata

15 2 0
                                    

       
    Akulah yang menyediakan foto untuk pemakaman Silvia.

    Aku mengoleksi fotonya dalam jumlah yang sangat banyak―lebih banyak daripada miliknya sendiri. Saat ia tersenyum, menangis, marah... mereka semua adalah hartaku.

    Aku mengangkat kepalaku untuk melihat foto Silvia yang sedang tersenyum indah di altar.

    Ah, itu sudah setahun sejak ia berhenti tersenyum semanis itu.

    Sejak peristiwa itu, ia belum menunjukkan senyum bahagia miliknya lagi. Sebaliknya, matanya menjadi kusam dan senyumnya hanya menjadi gerakan lemah di bibir.

    Tapi aku tidak keberatan. Aku bersedia menunggu di sisinya untuk mendapatkan kembali kegembiraan hidup dan aku tak punya rencana untuk mencari cinta yang lain.

    Semua warna di sekitarku hanya hitam dan putih. Meski seragam sekolah kami berwarna hijau, tapi warna itu telah dicuri dariku.

    Kemungkinan besar, mulai sekarang aku akan tinggal di dunia aneh yang terisolasi ini.

    “Karma,” kata seseorang.

     Aku berbalik untuk melihat teman baikku, Amir.

    “... Kamu di sini?”

    “Tentu saja. Aku dan semua teman sekelas kita.”

    Seperti yang Amir katakan, seluruh murid yang ada di kelas kami ada di sini. Ada juga siswa dari kelas lain, dan juga beberapa murid yang tidak aku kenal. Bahkan ada beberapa murid dari sekolah lain yang ikut menghadiri.

    Setelah peristiwa itu, Silvia mulai kehilangan teman-temannya satu per satu dan berhenti membuat teman baru. Hingga akhirnya tinggal aku seorang, orang terakhir yang tersisa di sekolah yang selalu dekat dengannya. Persahabatan antar perempuan ditentukan dengan seberapa keterikatan hubungan mereka antara satu sama lain. Pada awalnya, teman-temannya menemaninya karena simpati, tetapi akhirnya mereka tidak bisa mengikuti perubahan Silvia.

    Meskipun begitu, banyak teman-teman lama mendatangi pemakaman Silvia dan meratapi kepergian Silvia.

    Aku menatap fotonya. Senyumnya. Kenapa, kenapa, kenapa aku tak bisa melindungi senyuman itu?”

    Apa yang harus aku lakukan? Apakah pilihanku untuk memeluknya adalah sebuah kesalahan?
Atau apakah saat itu sudah terlambat?

    Kenapa aku tak bisa melindungi satu hal yang ingin aku lindungi?

    Apa yang harus aku lakukan sekarang setelah aku benar-benar dan sepenuhnya kehilangan Silvia―setengah jiwaku―harapanku, tujuanku?

    Aku sama seperti foto itu.

    Senyum terlukis dan aku hanyalah sisa-sisa dari ingatan masa lalu yang akan cepat berlalu.

    Jasad Silvia yang telah terbaring di dalam peti mati, yang sedari tadi ditempatkan di depan kami, mulai dibawa pergi untuk dikuburkan.

    Aku tidak bisa melihat wajahnya untuk yang terakhir kali karena adanya kerusakan parah pada jasadnya. Seandainya aku memaksa, aku mungkin mendapatkan izin untuk melihatnya, tapi, baik aku maupun Silvia, pastinya tidak berharap untuk dapat melihatnya.

    Mereka benar-benar mengatakan adanya kerusakan pada jasadnya. Bukan cedera atau luka, tapi kerusakan. Hancur. Mayatnya sudah tak bisa dikenali lagi.

    Hahaha, Silvia sudah bukan manusia lagi. Dia hancur. Melihatnya hanya akan membuatku pilu.

    Warna-warni dalam hidupku telah menghilang dan aku tetap berdiri di sana, dengan memusatkan pandanganku pada pintu di mana jasad Silvia sedang diangkut oleh beberapa orang dewasa.

Bunuh DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang