Affan tidak bodoh. Ia tidak mungkin menyuruh Revi turun di rumah Rain dan meminta Rain untuk mengantar cewek itu kalau jarak rumah keduanya cukup jauh. Cowok itu sudah hafal akan daerah rumah para sahabatnya, termasuk perumahan tempat Rain tinggal. Oleh karena itu, saat Revi menyebutkan alamat rumahnya, sebuah ide pun terlintas di benak Affan.
Mobil Affan berhenti tepat di depan pagar rumah Rain. Mempersempit risiko keduanya akan kebasahan.
"Taruh sepatunya di situ aja."
Revi langsung terburu-buru melepas sepatunya dan meletakkannya di rak berukuran rendah, seperti yang Rain lakukan sebelumnya.
Usai melakukannya, Revi bergegas mengekori Rain. Cewek itu mengernyit saat Rain justru membawanya ke kamar. Sialan! Mendadak pikirannya jadi macam-macam!
"Duduk aja dulu. Gue mau ambil minum. Lo mau minum apa?" tanya Rain seraya meletakkan ranselnya di bawah meja belajarnya.
Rain tidak memiliki "niat" buruk apa pun dengan membawa Revi ke kamarnya. Ia tidak punya pikiran lain selain memperlakukan Revi sama seperti para sahabatnya—yang telah menganggap kamar Rain sebagai kamar mereka sendiri. Ia tidak berpikir untuk menjadikan cewek itu sebagai pengecualian.
"Ng... apa aja deh. Yang berwarna juga boleh," jawab Revi.
"Warna bening nggak apa-apa?"
Sebelah alis Revi terangkat sejenak sebelum akhirnya tersenyum masam. "Gue udah yakin sih. Pasti lo cuma punya air putih."
Rain tersenyum kecil. "Nyokap lagi dinas ke Medan selama seminggu. Jadi, nggak ada yang baru di kulkas."
Ucapan Rain justru memancing rasa penasaran Revi. "Terus, lo tinggal sendirian?"
Rain menggeleng. "Sama adik gue."
"Berdua doang?"
Rain mengangguk, sebelum akhirnya pamit ke belakang untuk mengambil minum.
Revi menatap pintu kamar Rain yang tertutup dengan kepala meneleng. Sejujurnya, ia masih ingin bertanya-tanya. Tapi mengingat bagaimana respons Rain yang selalu menjawabnya dengan kedua mata menghindari Revi, membuat cewek itu enggan kembali membuka mulut. Ia takut jika Rain merasa tidak nyaman dan justru terusik dengan kehadirannya.
Revi mendudukkan dirinya di pinggir ranjang Rain. Pandangannya beralih pada jendela kamar Rain yang berembun. Affan benar. Sampai sekarang, hujan masih setia membasahi bumi dengan derasnya.
Cewek itu melirik arloji di pergelangan tangannya. Sebenarnya, Revi sendiri sih tidak masalah berlama-lama di rumah Rain. Tapi, bagaimana kalau Rain berpikir sebaliknya? Revi benar-benar tidak ingin Rain bermasalah dengan kehadirannya.
"Tegang banget. Santai aja. Anggap rumah sendiri."
Suara Rain yang tiba-tiba, membuat Revi nyaris terjungkal dari tempatnya. Cewek itu langsung mengelus dadanya yang rata. "Ngagetin aja!"
Rain menjulurkan segelas air berembun untuk Revi. "Nih. Minum."
"Hujan-hujan kok minum air dingin," protes Revi seraya menerima gelas tersebut.
"Emang kenapa?" tanya Rain dengan sebelah alis terangkat. "Mau gimana pun cuacanya, gue tetap minum air dingin."
"Pasti lo suka ice cream, ya?"
Rain menggeleng. "Lebih suka susu beku."
Revi tersenyum mendengar kembali fakta yang unik dari Rain. Cowok di depannya ini benar-benar spesial.
Revi tertegun sejenak ketika Rain tiba-tiba tengkurap di sampingnya dan mulai sibuk membaca novel. Apalagi kalau bukan karyanya Pelangi Putih?
"Novel dia lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna Untuk Pelangi [✓]
Teen Fiction(Cerita sudah lengkap di KaryaKarsa @ Junieloo) Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas...