32. Death, Mati, Shadow

532 38 1
                                    

Darah berceceran diruangan itu. Conan dan teman-temannya hanya bisa menatap tidak percaya. Bukan, bukan tidak percaya karena M adalah Plato. Bukan pula karena Plato mati tertembak.

Justru orang yang menyerang Plato lah yang bertemu dengan shinigami. Semua pasukan Shadow menatap ke arah peluru itu berasal. Ya, seorang laki-laki sedang berdiri di depan pintu ruangan mereka, entah kapan. Bagaimana dia ada di sini, dan bagaimana dia bisa menghindari semua penjaga, semua itu membingungkan mereka.

"Death... Bullet," Plato mengatakannya. Orang yang paling ditakuti oleh Shadow Walker, Pedang Emas, maupun Shinso. Orang yang baginya akan menjadi kartu As dari perang ini.

Anak buah Shadow segera merespons untuk menyerang mereka, namun sebuah percikan listrik menembus mata Conan. Selanjutnya, pasukan Shadow Walker disengat oleh listrik yang sangat kuat, bahkan tulang mereka dapat terlihat diantara syok dari listrik itu. Conan dan teman-temannya hanya bisa bergidik ngeri melihat pemandangan itu. Setelah sekitar 15 detik, listrik itu berhenti dan semua korbannya menjadi tubuh hitam tak bernyawa.

"Kau... kau membunuh mereka," komentar Conan. Matanya menatap tajam kepada sang pembunuh berdarah dingin yang berdiri di depan satu-satunya jalan keluar itu.

"Dalam perang, mati itu adalah hal yang biasa," jawab laki-laki itu dengan nada datar. Tidak ada rasa menyesal maupun sedih yang bisa dibaca oleh Conan. Laki-laki itu lalu membalikkan pandangannya.

"Peluru Mati, satu-satunya alasan aku bersedia ada di sini adalah karena Deathbringer melibatkanmu dalam perang ini. Keberadaanmu akan menentukan hasil dari perang ini," suara dingin tak berperi kemanusiaan itu berkomentar. Dia lalu pergi keluar ruangan itu.

"Orang itu..." Mitsuhiko hanya bisa menatap tidak percaya. Bagaimana bisa seorang laki-laki yang sepertinya muda itu tidak memiliki sedikitpun hati? Manusia apa yang bisa tidak memiliki hati?

"Inilah kenapa, kami tidak ingin memberitahukan hal seperti ini," ucap Conan di antara nafas yang dia hembuskan. Mitsuhiko yang mendengar kalimat itu tertegun. Jika satu tantangan ini saja membuat mereka ragu, berapa banyak yang telah dilalui oleh Conan? Dan juga, Haibara...

"Saat kalian mulai melangkah ke dunia ini," suara Peluru Mati, bukan, Plato, "maka tidak akan ada cahaya lagi dalam kehidupan kalian. Awalnya, kalian akan ragu dengan semua tindakan kalian. Namun, seiring waktu berjalan, kalian akan terbiasa. Darah adalah pemandangan umum. Orang mati adalah hal biasa. Hati kalian akan musnah," lanjutnya dengan nada yang membekukan. Detective Boys mendengarkan semua itu, semua kalimat yang membuat mereka berpikir kembali, apakah benar bagi mereka untuk mendengar kebenaran dari Conan dan Haibara.

"Kalian tidak bisa mundur lagi. Perang ini akan memakan banyak nyawa, dan kalian hanyalah satu dari ribuan nyawa yang akan dikorbankan," ucap Plato lagi. Dia perlahan berdiri, dan menyadari efek racun yang ada di tubuhnya telah hilang. Plato tersenyum, menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

"Dasar, Death Bullet."

"Ok. Sekarang kita harus melanjutkan penyelamatan kita," ucap Conan memecah suasana. Dia menoleh ke arah Haibara yang terluka, dan segera memikirkan sebuah rencana.

"Aku... dan Plato... maju mencari Ayumi, lalu sisanya bertahan di sini," usul Conan. Mitsuhiko menatap Conan heran. Bukankah mereka seharusnya bergerak bersama-sama?

"Ne, Conan, tapi bukannya kita harus bersama-sama?" tanya Genta heran. Sebelum Conan menjawab, Plato memotong mereka.

"Sebuah tim sebesar ini akan susah untuk bergerak tanpa ketahuan, dengan-" jawaban itu dipotong oleh suara halilintar keras yang menyambar di suatu titik yang sepertinya tidak jauh dari mereka. Gemuruh petir yang mengikuti halilintar itu sangat keras dan membuat beberapa orang ketakutan.

"-lebih sedikit orang, kita bisa mempercepat misi ini," lanjut Plato. Mitsuhiko merasa ada yang tidak terjawab, sehingga dia memutuskan untuk melemparkan pertanyaan di benaknya.

"Kenapa tidak berpencar saja semuanya? Kita bisa mendapatkan lebih banyak informasi dengan cara itu," tanya Mitsuhiko yang membuat Plato menghela nafas berat. Plato mengambil pistol yang ada di tubuh Shadow yang tak bernyawa.

"Kalian bisa membunuh? Kalian bisa mengarahkan pistol kepada mereka tanpa sedikitpun ragu?" tanya Plato seraya mengarahkan pistol itu ke salah satu tubuh pasukan yang tewas. Mitsuhiko menggelengkan kepala. Conan menghembuskan nafas berat. Dia juga ragu untuk membunuh orang, tapi setidaknya dia tidak akan ragu untuk membuat seseorang kehilangan sebagian fungsional tubuhnya selama mereka hidup.

"Baiklah, maka kita sepakati," ucap Plato dengan nada tegas. Dia tampak tidak ingin dibantah sedikitpun oleh para "bocah" yang terlibat dengan perang organisasi gelap dunia. Detective Boys mengangguk dengan berat hati.

Conan dan Plato segera bersiap keluar dari ruangan itu. Sebelum mereka pergi, suara Haibara menghentikan langkah mereka.

"Conan, berhati-hatilah," ucapnya. Haibara selalu peduli dengan keselamatannya, hingga dirinya sendiri selalu terluka.

"Heh, jangan khawatirkan aku, Haibara," komentar Conan dan dia melangkah pergi bersama Plato. Pergi untuk menyelamatkan perempuan yang telah menjadi seorang saudara bagi Haibara.

"Mereka tidak akan kembali," ucap laki-laki dengan pedang kecil tersabukkan dan dia sibuk mengaduk air. Seorang laki-laki yang penampilannya tersamarkan oleh gelapnya ruangan tempat laki-laki dengan pedang kecil itu berada tampak datar.

"Jika Peluru Mati tidak selamat, maka kita akan kesulitan untuk melaksanakan misi utama kita," jawab laki-laki yang tersamarkan itu. Laki-laki yang sibuk mengaduk air itu tersenyum.

"Ayolah, mereka berdua pasti bisa melaksanakan tugas mereka untuk menjaga orang itu. Misi utama kita adalah untuk melawan kekuatan tertinggi dalam tatanan dunia ini. Dan tentu saja kita perlu teknologi mereka," balas laki-laki yang mengaduk air itu.

"Deathbringer susah untuk mempercayai orang. Aku tahu itu, tapi untuk berpikir dia mempercayai kau dan juga orang itu," ucapan laki-laki yang tersamarkan itu terpotong. Jika teliti, maka matanya jelas menyorot ke sebuah ruangan dengan tulisan 'sibuk' yang membuat laki-laki yang mengaduk minuman itu tersenyum.

"Ayolah, itu masih mending. Kalau bukan karena mulut yang ember, aku yakin satu orang lagi akan ditambahkannya ke tim ini. Tim perubahan dunia ini," balas orang yang sekarang berhenti mengaduk air. Sebuah gelas yang berisi air teh yang telah diaduk dibawanya ke salah satu kursi di ruangan itu. Bunyi bel sebuah jam dinding berbunyi.

"Ah, waktunya kerja. Sampai nanti."

"Sampai jumpa."

Maaf untuk pendeknya part ini.

Metantei Conan : Assassinate [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang