"Tes... tes! Satu, dua, tiga. Ehem!"
Kontan seluruh murid, bahkan guru-guru yang lain pun menutup kedua telinganya saat microphone di tangan Kepala Sekolah, berdenging keras.
Pria yang kepalanya nyaris licin tersebut lantas mengetuk-ngetuk microphone-nya sebelum akhirnya membuka suara kembali. "Baik, yang tidak mengenakan almamater dan topi, silahkan berdiri di tempat yang telah disediakan. Terima kasih."
Tidak ingin semakin berurusan dengan Pak Radjiman—yang kalau sudah murka, kekejaman ayah tiri pun kalah!—seluruh murid yang tidak mengenakan topi maupun almamater, langsung keluar dari barisan kelas masing-masing dan berdiri di tempat yang telah tersedia.
Tempat yang dimaksud sang kepala adalah sisi kanan halaman depan sekolah yang menjadi sasaran empuk bagi sang mentari untuk "menghangatkan" bumi, alias tempat yang paling terik!
Mampus! Revi benar-benar sedang tidak beruntung saat ini. Ia benar-benar lupa jika Senin ini sudah masuk ke awal bulan dimana selalu dilaksanakan upacara. Alhasil, ia pun tidak membawa topi beserta almamaternya.
Revi mengikuti jejak murid-murid yang juga "melanggar" dengan lesu. Namun, tidak sampai semenit bibirnya mengerucut cemberut, senyumnya kembali merekah mendapati sosok Rain telah berdiri di "neraka" sekolah.
Dengan semangat, Revi menghampiri Rain. Cewek itu bahkan sampai melompat-lompat kecil saking riangnya. Membuat para guru yang melihatnya, melempar tatapan mencela. Dihukum kok senang?! Begitulah kira-kira isi pikiran mereka.
"Oy!" Revi menyikut lengan Rain, pelan. "Kok lo di sini?"
"Kelihatannya?"
Revi justru terkekeh mendengar balasan Rain yang kelewat jutek. Cowok itu pasti bete habis karena tidak membawa topi. Yup! Benda itu tidak bertengger di kepala Rain. Hanya almamater yang menyelimuti badan cowok itu.
"Lupa bawa topi?" tanya Revi, berbisik karena upacara telah berlangsung.
Rain menggeleng lesu. "Ketinggalan di angkot."
"Terus, kenapa nggak beli aja di Koperasi?"
"Mahal. Tiga puluh ribu bisa buat nambahin beli novel!" sungut Rain.
"Sabar ya."
Rain tidak menjawab. Selain kesal dengan respons Revi yang sama sekali tidak membuatnya tenang, cowok itu juga tengah memerhatikan pidato Kepala Sekolah yang mulai menjurus ke arah Ujian Tengah Semester.
"...Berhubung banyaknya laporan tentang Ujian Nasional mendatang, maka saya memutuskan untuk mempersingkat liburan Ujian Tengah Semester untuk mematangkan pengetahuan kalian. Khususnya, kelas dua belas..." Mendengar keluhan dari hampir seluruh siswanya, Pak Radjiman lantas melotot. "Jangan protes! Ini demi kebaikan kalian semua!"
Revi pun mendengus kesal. Pak Radjiman tidak akan pernah tahu jika keputusannya cukup berdampak bagi rencana yang telah dibuat Revi.
Rain yang mendengar dengusan di sebelahnya pun menoleh. Saat itu, ia baru menyadari jika posisi Revi benar-benar berada di tengah-tengah paparan terik panasnya matahari. Membuat dahi cewek itu dipenuhi oleh keringat, bahkan hingga mengucur lewat pelipisnya.
Merasa kasihan, Rain pun membuka almamater dan meletakkannya begitu saja di atas kepala Revi. Membuat Revi mengerjap-ngerjap karena pandangannya yang tiba-tiba menjadi gelap. Meski begitu, wajah Revi yang telah memerah kepanasan, kini terlindungi dari terik matahari.
Hmm. Antara romantis dan kurang ajar sih.
Omong-omong, Revi merasa familier dengan perlakuan Rain padanya barusan. Cewek itu pun tersenyum tertahankan. Mengingat bahwa adegan tersebut hampir mirip dengan adegan yang tertulis dalam Mentari di Balik Mendung milik Pelangi Putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna Untuk Pelangi [✓]
Genç Kurgu(Cerita sudah lengkap di KaryaKarsa @ Junieloo) Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas...