Penasaran (2)

338 23 5
                                    

"Kamu kemana tadi Zai! Kususul sudah menghilang saja." Semburan ocehan dari Mala langsung menghampiri Banzai saat dia sampai di bangkunya.

Banzai memutar bola matanya, mencari alasan. Dan dia memutuskan untuk jujur. "Aku hanya khawatir dengan anak itu," katanya seraya mengarahkan dagu ke Ano yang terlihat sedang mendiskusikan sesuatu dengan teman sebangkunya, Si kutu buku.

Murid baru itu tidak setertutup yang Banzai kira. Lihatlah, sekarang sekumpulan murid yang hobi membaca buku pelajaran saat istirahat sedang bergerombol di sekitar Ano. Asyik mendiskusikan materi yang akan diajarkan di jam pelajaran berikutnya.

Mala mengedipkan-ngedipkan matanya. "Memangnya kenapa? Ada apa dengan anak itu?"

Bukannya menjawab, Banzai malah melihat ke Mala dengan wajah serius. "Nanti siang kamu mau tidak kerumahku? Kita bicarakan tentang hal ini."

"Ha? Kenapa nggak sekarang aja?"

"Tidak bisa. Nanti saja di rumahku."

"Okelah," jawab Mala pasrah. Kemudian cewek ini melihat ke Geng Juara.

Mungkin saja ini ada hubungannya sama Geng Juara?

***

Geng Juara tidak terima dengan penolakan mentah-mentah yang dilakukan secara serta merta oleh Ano terhadap mereka. Ini namanya penghinaan. Selama ini mereka selalu berhasil dalam merayu. Selama ini mereka selalu mulus menjalankan rencana-rencana mereka. Selama ini mereka mudah saja mengatur teman-temannya. Entah dengan pesona mereka. Dengan rayuan mereka. Dengan sogokan mereka. Atau cara yang paling susah, dengan misi-misi mereka.

Mereka tidak ingin ada yang terlihat lebih menonjol dari mereka di sekolah ini. Yang lainnya boleh berprestasi, tapi tidak boleh terlalu banyak. Bibit-bibit yang dapat merebut perhatian para guru dan murid-murid dari mereka akan mereka atasi secepatnya. Agar bibit itu tidak tumbuh subur.

Orang-orang yang ketahuan berupaya untuk membongkar jati diri mereka di sekolah ini juga akan langsung mereka sikat. Mereka tampil parlente di luar, tapi sebenarnya mereka licik di dalam. Pentolan geng ini adalah Zimmy dan kaki tangannya Wino. Para anggota Geng Juara adalah murid-murid yang sudah terbukti loyal pada visi misi geng ini. Mereka berjanji untuk tidak membocorkannya ke yang lainnya. Lagipula mereka merasa bangga di geng ini. Banyak yang menyanjung mereka. Seperti mereka memiliki pengikut tak kasat mata. Buktinya Wino menjadi kandidat Ketua OSIS terkuat di sekolah ini tanpa mereka harus banyak menyogok dan merayu.

Namun tetap saja, apapun yang direncanakan dengan matang, jika itu suatu perkara yang tidak baik maka tetap akan ada celanya. Tuhan tidak akan tinggal diam kan?

Termasuk persahabatan yang dibungkus oleh berbagai macam kepentingan. Itu jelas sekali akan ada celanya.

Zimmy menoleh, melihat Ano yang sedang ngobrol dengan teman-teman barunya.

Anak itu tidak boleh dibiarkan. Dia sangat berpotensi. Jika dia tidak mau gabung ke geng ini. Maka dia harus terima akibatnya.

Saat di rumah, Zimmy disambut oleh pelayan pribadinya. Pelayan wanita yang masih muda itu membungkuk memberi hormat. "Tuan memanggil Anda Tuan Muda."

"Oh ya? Tumben sekali Daddy."

Zimmy pun mengetuk pintu ruang kerja Daddy-nya dan masuk ke dalam.

"Daddy tadi panggil Zim?"

Tuan Zamrud mengangkat wajahnya dari sebuah kertas di dalam map yang sedang dia pegang.

"Zim, kemarilah."

Anak semata wayangnya itu pun melangkah mendekat dengan sopan.

"Bagaimana presrasimu di sekolah?"

Zimmy menatap wajah Daddy-nya dengan tatapan datar dan berkata, "Baik, Dad. Posisiku di sekolah tidak berubah."

"Apakah kamu yakin?"

"Yakin sekali, Dad."

Tuan Zamrud menepuk tangannya. Senyuman bangga tersemat di wajahnya. "Baguslah."

"Kamu adalah satu-satunya pewarisku. Jadi kamu harus membangun citra dirimu menjadi yang nomer satu sedini mungkin. Fungsinya apa sih ini semua? Agar orang-orang mengingatmu sebagai orang yang disegani," lanjut Daddy-nya Zimmy.

"Apakah Daddy dulu juga sepertiku?"

Tuan Zamrud ditanya seperti ini sontak menjawab dengan lantang. "Jelas! Bahkan kakekmu itu jauh lebih keras. Jika peringkatku turun satu saja, maka tangannya sudah bersiap untuk mencambukiku sepuluh kali. Woah, meski kelihatannya cuma sepuluh kali, tapi itu sakit sekali. Cobalah kamu lihat sekali-kali punggungku ini. Bagaimanapun disana masih ada bekas-bekasnya meski sudah samar. Kamu belum pernah kucambuk kan?" Senyum jahil mengembang di wajah Tuan Zamrud.

Zimmy terkejut ayahnya berkata seperti ini. Dia cepat-cepat menggelengkan wajahnya. Jangan sampai itu terjadi.

Kamu memang tidak mencambuk, tapi kamu mengurungku di kamar seharian tanpa makanan.

Saat Daddy-nya lengah, sejenak Zimmy menatap pria hampir setengah baya di hadapannya ini tajam. Tanda bahwa dia menyimpan perasaan tidak suka padanya. Tapi buru-buru dia mengganti ekspresinya saat Tuan Zamrud kembali melihat kepadanya.

"Sudah. Keluarlah. Pesanku, Jagalah image-mu dimanapun kamu berada. Ingat, kamu yang akan mewarisi semua yang kuraih selama ini."

Zimmy mengangguk lalu mengundurkan diri. Dia beranjak menuju kamarnya. Disana dia langsung melangkah menuju bufet di sebelah tempat tidurnya dengan langkah lebar. Saat dia sedang kesal, dia akan langsung melihat foto yang ada di atas bufet. Disana tampak ibunya saat masih muda sedang menggendongnya dengan latar taman hiburan. Zimmy senang sekali memandangi foto itu dalam waktu lama. Dia seakan menjadi tidak peduli dengan sekitarnya dalam sejenak. Dengan begitu rasa kesalnya akan sedikit mereda. Namun, sebenarnya sisa amarahnya masih tersimpan di hatinya, bertumpuk semakin banyak dan semakin banyak seperti sampah yang disimpan di bawah karpet. Terjebak disana, sulit menemukan jalan keluar untuk membuat perasaannya lega.

Dia pun sering berbicara sendiri pada foto itu.

Ma, aku tidak akan pernah membiarkan siapapun menjadi lebih terlihat di sekolah melebihi aku. Siapapun itu. Siapapun.

Fake FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang