Hadiah Pertama Dariku, Anakmu

140 2 0
                                    


Siang yang panas di atas bus kota. Jalanan yang padat dengan lautan kendaraan, Ibukota di selimuti polusi. Terik matahari dan isi bus lumayan padat. Memaksa tenggorokan pengamen kecil itu agar tetap bernyanyi walau sudah terdengar parau, orang-orang kadang hanya menatap malas ke arah pengamen kecil itu, bahkan ada yang tidak peduli sama sekali, hanya melirik sebentar lalu melanjutkan tidurnya, mungkin mereka terganggu dengan suara cemprengnya. Dengan memetik senar gitar kecil. Dia sudah lelah. Sejak pagi tidak henti bernyanyi. Membujuk dirinya sendiri untuk lebih bersemangat. Tapi lihatlah! Pengamen kecil itu sudah benar-benar lelah. Panasnya siang ini membuatnya haus, apalagi saat ini bulan suci Ramadhan. Namun ia tetap berpuasa. Dari pagi setelah naik bus ke bus yang lain, dari gerbong kereta ke gerbong yang lain. Pengamen kecil itu sudah dapat dua puluh ribu. Lumayan banyak. Sudah lima lagu, dia berhenti bernyanyi dan mengeluarkan plastik lecek lalu berjalan dengan kaki telanjang yang penuh dengan debu. Dari depan ke belakang berharap kebaikan hati orang-orang yang terlihat lelah. Bus sudah sampai di terminal. Pengamen kecil dengan beberapa orang berpakaian kantoran turun dari bus tersebut. Pengamen kecil itu berjalan sambil bersenandung riang. Dia melewati trotoar jalan, berhenti sejenak. Kepalanya menoleh ke arah toko baju muslimah yang berdinding kaca tebal. Melihat mukena cantik yang tergantung elok di patung berderetan dengan mukena-mukena lainnya. Di belakang para mukena itu terdapat ribuan baju-baju muslimah cantik lainnya. Di pintu toko itu tergantung tulisan Buka.

Memorinya berputar ke dua bulan yang lalu sebelum bulan Ramadhan. Ia dan ibunya lewat di depan toko ini, wanita paruh baya itu berhenti memandang mukena yang tergantung elok di patung jenjang tersebut. Menatap lamat-lamat dengan bibir tersungging. Amir, nama pengamen kecil itu. Mendongakkan kepala ke arah ibunya. Anak berumur 10 tahun itu mengerti keinginan perempuan di sampingnya itu. Mulai dua bulan terakhir, Amir menabung untuk membeli mukena untuk ibunya. Melihat harga yang tertera, senyum ibu Amir memudar. Berbeda dengan Amir. Anak itu akan lebih giat mencari uang untuk membelinya. Mbak-mbak penjaga toko tersenyum ke arah dua beranak yang kumuh itu. Ibu Amir membalas senyumannya lalu beranjak pergi.

Amir masih takzim menatap mukena dari depan toko. Hingga tetes air langit menyadarkannya. Bocah kumuh itu berlari menuju rumahnya yang berada di bantaran kali. Rumah sewa yang kecil, pengap. Hanya berkamar satu, cukup untuk mereka berdua. Bila musim hujan tiba, bau busuk sampah menyeruak memenuhi kawasan kumuh tersebut. Namun mereka sudah terbiasa dengan bau busuk sampah.
Sebelum pulang, anak itu menyempatkan diri membeli makanan di warung depan toko baju muslimah tadi, buat buka puasa. Isinya hanya sebungkus nasi dan tempe goreng tiga hiris.

Amir tiba di rumah, mengetuk pintu. Wanita setengah baya membukakan pintu sambil tersenyum lembut menatap anaknya pulang dengan selamat. Biasanya anak itu pulang dengan lebam-lebam disekujur tubuhnya, preman-preman jalanan yang melakukan hal keji tersrbut. Biadab! Mereka selalu memalaki anak-anak jalanan seperti Amir. Ibunya tidak pernah protes dengan hasil yang di dapat anaknya sehari-hari. Wanita itu malah melarangnya mengamen di bus-bus dan kereta. Namun Amir bersikeras dengan keinginannya. Penghasilan mencuci baju keliling wanita paruh baya itu cukup untuk makan hari-hari mereka berdua.

"Mari masuk, Nak." Ibunya mempersilahkan anaknya masuk

"Ibu sudah berbuka? Ini Amir bawakan makanan," tanya Amir sambil meletakan kresek hitam lalu mengeluarkan bungkusan nasi berkaret kuning di atas lantai.

"Kau seperti ayahmu, Mir. Sepulang kerja pasti membawa makanan pulang." Tersenyum wanita paruh baya itu mengenang suaminya. Amir yang sudah duduk di samping ibunya ikut tersenyum, tersenyum getir.

Ayah? Ayahnya lah yang membuat dua beranak ini hidup terlunta-lunta. Ayahnya pergi saat ia berumur delalan bulan sepuluh hari di dalam kandungan ibunya. Apakah ayahnya sengaja meninggalkan tanggung jawab yang begitu besar? Tidak, tidak sama sekali.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang