Boja, 31 Maret 2004
"May, bener kamu mau resign?"
Pak Ari, supervisorku mencegatku di depan pintu gudang. Aku yang kaget hampir saja menjatuhkan uang receh yang kupegang.
"Eh, Bapak. Ngagetin aja, Pak," tak kujawab pertanyaan Pak Ari. Aku berjalan menuju ke meja kasir. Pak Ari berjalan di sampingku.
"Kenapa harus resign, May?"
"Saya mau nikah, Pak."
"Tapi, kami membutuhkanmu, ndhuk. Beneran kamu mau nikah sama Dody?"
Kuletakkan uang receh di meja kasir. Kulepas cincin di jari manisku. Kuperlihatkan nama kekasihku yang terukir indah di bagian dalam cincin emas itu pada Pak Ari. Pak Ari mengambil cincin dariku. Dia membenarkan letak kacamatanya, kemudian diamatinya cincin itu. Tak lama cincin itu kembali diserahkannya padaku.
"Kamu kan bisa tetap bekerja di sini. Tahun ini aku akan promokan kamu sebagai asisten."
"Terima kasih, Pak, tapi saya ingin menikmati hari-hari menjadi istri setelah pernikahan saya pak."
"Kamu akan kuberi cuti nikah selama seminggu."
"Tapi saya mau selalu mendampingi suami saya, Pak. Bukankah peraturan perusahaan tidak membolehkan karyawannya menikah?"
"Sekarang tidak lagi, May. Kamu bahkan bisa bekerja sekota sengan suamimu."
"Maaf, Pak, tapi keputusan saya sudah bulat."
"Baiklah kalau begitu. Kapan kamu resign?"
"Ini hari terakhir saya bekerja di sini, Pak."
"Apa?" Mata Pak Ari membelalak, membuatku ingin tertawa.
***
Jogja, 13 Mei 2004
"Mbak, kamu manis." Perempuan setengah baya yang meriasku berkata sambil tersenyum. Dia masih asyik menyasak rambutku.
"Tak perhatikan kok kaya Juleha mbak e."
"Hah, Juleha siapa buk?"
"Itu mbak, Juleha anak gedongan. Masa ngga tahu. Nova Eliza mbak."
Aku hampir saja melompat kaget mendengar ibu itu. Detik selanjutnya aku tertawa terpingkal-pingkal.
"Ibu ini ada ada aja, jangan bikin saya ge er dong buk," kataku kemudian, masih tertawa.Hari yang kunantian akhirnya tiba. Aku menikah tanpa didampingi ayah kandungku. Aku dinikahkan oleh wali hakim. Saat ijab kabul terucap, air mata menderas di pipiku. Masih kuingat, bagaimana rasanya. Hari itu, tanggung jawab dan kewajibanku berubah. Hari itu, seperti motto pom bensin, kami mengawali semuanya dari nol.
Kenyataan kadang memang tak seperti harapan. Aku berharap bisa menikah di umur antara 23-25 tahun. Tapi takdir berkata lain. Aku harus menikah di usia yang masih cukup muda, 20 tahun lebih 5 bulan. Dan Mas Dody, suamiku, berumur 22 tahun. Hari itu, Kamis, 13 Mei 2004, menjadi hari bersejarah yang tak kan kulupakan sepanjang hidupku.
Di hari pernikahanku, aku cukup dibuat capek. Aku harus berdandan ala Jawa. Tidak seperti pengantin lain yang pada umumnya memakai kebaya berwarna putih saat ijab kabul, aku memakai kebaya berwarna biru. Dan kami harus duduk di kursi pengantin dari jam 11 siang sampai jam 02.00 dini hari! Kalian tahu rasanya? Tersiksa! Cukup sekali lah aku merasakannya, hihihi.
Setelah ijab kabul, kami menerima tamu dari pihak Mas Dody. Mereka pulang sekitar jam dua siang. Kami beristirahat sebentar, karena jam empat sore, aku harus touch up untuk acara sore hari.
Mulai jam lima sore, kami menerima tamu teman- teman sekolahku dan mas Dody."May, curang kamu," kata Rina, sahabatku.
"Kenapa, Rin?"
"Kamu pacaran terakhir, married nomer satu," katanya sambil manyun, disambut tawa riuh teman yang lain.
Jam 7 malam kami menerima tamu teman-teman kerja kami berdua, sampai jam dua dini hari!
Kalian tahu 'kan, apa yang dilakukan sepasang pengantin di malam pertama? Kalian tahu, apa yang kami lakukan di malam pengantin kami? Kami membereskan kursi. Iya! Membereskan kursi yang tadi buat resepsi, lalu menyapu teras dan halaman! Gila! Iya! Setelah itu kami masuk ke kamar, berganti pakaian, lalu tertidur!
Hari pertamaku menjadi seorang istri, bukannya kami pergi berbulan madu, atau aku bangun pagi,masak buat suami, tidak! Tahu apa yang kami lakukan? Kami mengurusi tukang tenda membongkar tenda! Siangnya setelah jumatan, kami memancing di pemancingan di dekat rumah, lalu makan di situ.
Lalu kami membeli kasur, iya, kasur. Kami benar-benar tak punya apa-apa sebelum menikah. Kasihan ya.
Malamnya, baru kami bisa sedikit bernafas lega.
"May."
"Iya, Mas."
"Kamu sudah..."
Belum sempat Mas Dody menyelesaikan kalimatnya, aku potong dengan tersipu, "Sudah, Mas."
Dia menarikku ke atas kasur baru kami. Jantungku sudah berdetak kencang saat dia menarikku ke dalam pangkuannya. Sekujur tubuhku rasanya kaku, tegang. Bulu kudukku berdiri saat dia mengecup belakang telingaku, lalu berbisik, "May, kita buka kado yuk."
Oh my God. Aku pun tiba-tiba lesu.