Tulisan ini hanya akan bercerita sedikit tentang suatu tempat yang menurutku seperti pengasingan, namun saat aku menulis ini kurasakan betul hasil gemblengan disana. Di Jalan ikan nilla nomer 4, berdiri rumah yang sederhana dan sebuah toko yang umurnya lebih tua dari umurku. Pagar berwarna biru tak pernah pensiun semenjak pagar itu dipekerjakan. Rumah itu dihuni dan dihuni oleh seorang Grandma. Grandma yang tak kenal lelah dan musuh besar sifat malas.
Sebagai pemuda yang haus akan kebebasan dan nikmatnya duniawi ini tentu aku menolak mendaftar dirumah itu bersama seorang nenek. Aku sudah dapat membayangkan kebebasan yang terampas dan suasana yang membosankan. Namun kebutuhan dan keterbatasan waktu selalu di atas keinginanku sehingga terpaksa jiwa dan raga harus tinggal di rumah itu.
Kamar ku memang paling belakang namun menurutku itulah kamar paling nyaman. Tapi Fasilitas yang nyaman belum sanggup tuk mengalahkan hasrat kebebasan. Hari hari pertama hidup disana sungguh menyiksa, pribadi yang terkenal pemalu ditambah budaya jawa yang sudah melekat, yaitu "sungkanan" membuat pergerakan yang sangat sempit. Grandma dengan prinsip kebersihan dan kekenyangan nomor satu mempersempit ruang gerakku Grandma yang tiap hari tanpa lupa selalu menyuruhku bersihin kamar, kamar mandi, cuci baju, selimut, bantal, cuci piring, sepeda motor, bersihin kaca dan banyak lagi. selalu ada rasa kesal dengan semua perintah itu, namunItu semua aku anggap sebagai ilmu kehidupan. Grandma yang tak pernah puas melihat cucu nya ini makan seporsi selalu terpapar kata "emboh (Nambah)" ditelinga ini saat makan. Tak peduli kuliah sudah telat, urusan perut tak boleh telat.
Jam setengah delapan malam ba'da isya' rumah ini seakan tak berpenghuni. Inilah alasan ku menyebutnya dengan rengasdengklok. Kesadaran akan malam yang harusnya tak diisi aktivitas tak berguna menjadikan seisi rumah hanya diisi oleh suara kodok dan serangga malam. Tak pernah malam terasa panjang meski besok tanggal merah. Hanya pertandingan Arema yang dapat menjadikan malam di rumah tersebut sedikit ber-energi. Selebihnya kasur dan selimut lah yang bertanding.
Suasana perut tak pernah sepi semenjak aku berada di rengasdengklok. Si lambung dan colon bekerja keras setiap hari. Tiada hari tanpa porsi normal, Tak peduli kereta sudah berangkat, maupun pintu kelas sudah tak bersedia terbuka, perut harus sudah di isi oleh apapun itu. Jika tidak, doa takkan mengiringi ku dalam menimbah ilmu. Ketika pulang dari menimba ilmu pun makanan sudah mengantri tuk masuk dalam tubuh yang sudah lelah. Antrian yang terlalu banyak membuat si otak merasa sudah tak diperlukan lagi. Ia pun menarik selimut dan membetulkan posisi bantal dengan alih-alih istirahat sejenak. Esoknya otak selalu olahraga pagi, bukan jogging tapi marathon untuk mengejar tunggakan tugas kuliah.
Inti dari topik ini sebenarnya ada pada paragaf ini. Meski kebebasan remaja yang terenggut, ternyata tak sebanding dengan ilmu kehidupan dan kesadaran akan posisiku di keluarga. Ilmu ngepel, mencuci baju, tas, sepatu sampai sepeda motor, bersihin kamar mandi, nyate dan masih banyak lagi yang kuperoleh tak akan kudapatkan di kos-kosan maupun kontrakan lain. mungkin hal tersebut terlihat sepeleh, namun manfaatnya sangat besar. Hal ini membuktikan bahwa jadi orang tidak hanya memikirkan uang atau ilmu, kemandirian menjadi syarat untuk mendapatkan label "orang". suapan-suapan realita kehidupan berhasil merubah mindset dalam hidupku. Kata-kata yang menurutku awalnya hanya sebatas dari bentuk kecerewatan seorang nenek ternyata tertancap dalam dari otak menembus ke hati. Kata yang selalu menyebut bahwa ibuk dan ayah sudah waktunya pensiun, ibuk dan ayah yang sudah capek, ibuk dan ayah badanya sudah gak kuat, ibuk dan ayah yang selalu mendoakan, ibuk dan ayah yang berharap besar pada anak laki-lakinya yang paling besar ini membuatku selalu menutup mata dari kesenangan dunia kebebasan. Sekali lagi tak ada yang sanggup menggantikan peran dari nenek.
Untuk yang terkahir, tak tau kapan umur akan berhenti bertambah, namun kuberharap selalu bisa membelikan daster untukmu sebelum itu terjadi. seperti yang sering nenek bilang "saiki awakmu sek pantes tak sangune, tapi mene lek wes isok golek duwek ojok lali mbah tukokno daster". terimakasih nek.