-Short Story-

262 10 0
                                    

Dalam malam yang kelabu, Rizfa dan Refan sama-sama menunggu di sebuah sudut yang saling membelakangi. Mereka memang terpisah, meski secara tak sadar, mereka berdua saling dihujam perasaan yang sama-sama  menggilakan.
"Riz... berhentilah mencari-mulailah menunggu, biar aku yang akan menemukan kamu." demikian sebuah pesan sederhana, yang tersampaikan lewat jalinan sendu.
"Ref, cepatlah berkata... jangan terlalu lama....." suara hati kecil Rizfa berbicara sendiri. Rizfa melangkah terburu-buru di tengah derasnya hujan, rambutnya mulai basah kuyup, buku buku di tangannya pun mulai terasa berat karena ikut basah. Langkahnya terhenti di sebuah beranda depan pertokoan, tempat beberapa orang yang senasib dengannya sedang berteduh disana. Dengan murung Rizfa menatap ke langit, tempat tumpahan hujan menghujam bumi, seperti garis-garis tipis putus-putus tiada henti. Hujan selalu membuatnya murung, tanpa ia tahu sebabnya. Tiba-tiba ponsel di sakunya bergetar dengan keras, dengan canggung karena memegang 3 buah buku tebal yang berat, Rizfa mengeluarkan ponsel itu dari sakunya.

Refan calling.

"Halo?"
"Berisik sekali disana, kamu sedang dimana?" suara di seberang terdengar sedikit berteriak, mengalahkan keheningan.
"Di luar-"
"Hujan-hujan begini?? Di sebelah mana?"
"Di dekat toko buku-"
"Tunggu di situ sebentar, aku kesana-"
Telephone ditutup tanpa menunggu jawaban dari Rizfa.

Rizfa pun mendesah, menatap ke langit, ke hujan yang tak mau mereda dan menghembuskan napas resah, ia merasa semakin murung. Setengah jam kemudian, sebuah mobil sport warna merah menyala berhenti tepat di depan Rizfa berdiri.
Pintunya tiba-tiba terbuka, Refan pun menengok dari balik roda kemudi, "Masuk Riz-" senyum khas itu langsung tampak begitu mereka bertatapan. Dengan canggung Rizfa menepiskan butiran air dari baju dan rambutnya yang basah, dan masuk ke dalam mobil. Mereka melaju dengan pelan menembus hujan.
"Kenapa tadi tidak minta diantar?" Refan melirik ke arah Rizfa yang hanya berdiam diri.
"Bukannya setiap jumat sore kamu harus menjemput Ifa dan mengantarnya ke salon langganannya?"
Refan tersenyum, "Rizfa yang biasanya, yang selalu menghapal jadwalku di luar kepala-" gumamnya riang, "Biarpun begitu, setidaknya kau bisa menelepon dan bertanya-" Refan sengaja menghentikan ucapannya, menunggu Rizfa bertanya. Tapi Rizfa tetap diam saja, tidak mencoba bertanya. Hening. Dan Refan pun mendesah, "Ifa sakit kepala, jadi membatalkan jadwal ke salonnya, aku tadi mencarimu ke rumah, tapi ibu bilang kau sedang keluar-" Refan menyambung akhirnya. Rizfa hanya mengangguk, lalu menatap keluar jendela, ke arah hujan, yang semakin membuatnya murung.

"Rizfa yang benci hujan setiap kali ia turun, karena hujan membuatnya murung" Refan tertawa.
"Dan Refan yang sangat mencintai hujan karena hujan membuatnya riang seperti katak berbahagia menyambut hujan" sambung Rizfa, cemberut.
Refan tergelak, "Hujan itu indah Riz, bentuk berkat Tuhan pada manusia di bumi, tidakkah kau merasakan kesejukannya? Tidakkah kau merasakan harmoni suara air yang mengalir? Semua itu indah Riz-"
"Yang aku rasakan sekarang adalah dingin setengah mati" jawab Rizfa datar.
Refan mengerutkan keningnya, berubah serius. "Kenapa hujan selalu
membuatmu murung Riz?" tanyanya pelan.
"Karena hujan terasa sangat menyedihkan kalau dinikmati sendirian."
"Aku ada disini bersamamu"
Rizfa mengernyit, "Kau bukan kekasihku-"
"Ah, ya... Kembali pada masalah itu lagi ya?" Rizfa tidak menjawab, mulai memandang keluar lagi.
"Mungkin..... Mungkin kalau kau berhenti mencaricari dan mulai menunggu... mungkin sosok itu yang akan datang menemuimu" gumam Refan tercenung.
Hening.

Pikiran Rizfa melayang jauh...
Belum cukupkah sepi di mataku membuatmu jatuh kasihan lalu muncul untuk memelukku, wahai kau yang seharusnya membuat jiwaku terlengkapi?
Pemurung. Itulah sebutannya. Rizfa terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri untuk terlalu banyak berkata-kata. Di antara empat bersaudara, dia yang paling pendiam, selalu mengalah dan jarang mengungkapkan pikirannya. Sampai dia bertemu Refan. Mereka sangat bertolak belakang di semua sisi, dan entah kenapa mereka malah menjadi sahabat. Refan yang sangat tampan. Rizfa yang biasa-biasa saja. Refan yang berasal dari keluarga kaya raya. Rizfa yang (sekali lagi) biasa-biasa saja. Refan yang selalu beruntung dalam masalah percintaan (bagaimana tidak? Setiap perempuan yang menjadi kekasihnya selalu cantik dan sempurna, belum lagi puluhan gadis lain mengantri untuk menjadi kekasihnya). Rizfa yang selalu menunggu dan menunggu belahan jiwanya datang (sampai kapan? Bahkan dia sendiri mulai meragukan kalau "jodoh" nya itu ada).
Refan yang selalu menghadapi dunia dengan senyuman, selalu memandang setiap permasalahan sebagai kesenangan yang tertunda. Rizfa yang selalu menghadapi dunia dengan skeptimisme tingkat tinggi, memandang setiap permasalahan sebagi tambahan beban di benaknya. Kalau disebutkan satu persatu tak akan ada habisnya, yang pasti, persahabatan mereka merupakan persahabatan paling aneh di dunia, dua manusia paling bertolak belakang yang seharusnya tidak perlu berinteraksi, tetapi malahan terikat dalam selubung persahabatan.

Tentang aku, kau, dan hujan [End✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang