Chapter Two

934 122 6
                                    

Setelah tiga kali salah belok dan beberapa undangan beberapa murid untuk berpesta, yang tentu saja dia tolak, Hakyeon menemukan kamarnya. Ruangannya ada dilantai dua, dan dari suara musik yang didengarnya, dia tidak sediri.

Sial.

Dia berharap punya ruang pribadi. Namun ayahnya berkata ini adalah salah satu pengalaman.

Mengambil nafas panjang, Hakyeon ogah-ogahan mengetuk pintu.

Tepat setelah ketukan pertamanya berakhir, seorang blonde dengan mata abu-abu yang nampak bersinar muncul dengan senyum cerah. Yang nampaknya separuh peri, karena telinganya yang berbentuk lancip seperti telinga peri.

“Hey, kau pasti anak baru yang mereka katakan akan datang,” ucapnya senang.

“Aku Hakyeon,”

“Ken, senang bertemu denganmu. Masuklah.” Ken mundur untuk memberi Hakyeon jalan.

Hakyeon melewati pintu dan melihat sebuah ruangan yang luas. Lima tempat tidur, dengan satu meja diantara masing-masing. Pasti menggunakan mantra, karena ruangannya nampak lebih luas dari luar.

Tiga pemuda lain, kembar identik, menatapnya dengan mata biru cerah. Mengingatkan Hakyeon pada warna mata sepasang singa yang baru dilihatnya.

“Ini Stewartson triplets. Devin, Dean, dan Dan. Kami hanya memanggil mereka D,”

“Hai,” Hakyeon lalu menerawang mereka menggunakan sihir, dengan cepat menemukan perbedaan mereka dan menyimpannya ke dalam memori. Dia tidak mau salah memanggil nama. Nama sangatlah penting dan mengandung kekuatan.

Kembar tiga itu menatapnya dengn tatapan penasaran yang sama ketika dia menatap hewan yang tak pernah ditemuinya di kebun binatang.

“Dimana barangmu?” tanya Dean, menatap tangan kosong Hakyeon.

“Oh, disini.” Hakyeon menarik selembar kertas dari saku jubahnya.

Mengabaikan tatapan keempat teman barunya, dan meletakkannya diatas tempat tidur.

“Lucu,” ucap Ken. “Sungguh, mana barangmu?”

“Kalian tidak pernah melihat mantra peringkas?” Hakyeon menunjuk dengan jari telunjuk kanannya, “Tampakkan,”

Sepercik cahaya keunguan muncul di ruangan mereka, dan sebuah koper super besar muncul, menggantikan lembaran kertas Hakyeon.

“Wah!” Devin menatap pada koper itu seakan koper itu bisa menggigitnya. “Bagaimana kau melakukannya?”
“Aku menggunakan sihir untuk meringkas koperku dan membuatnya setipis kertas.” Dan dari ekspresi mereka, Hakyeon bisa melihat bahwa mereka tak punya banyak pengalaman menggunakan sihir.

“Itu sangat keren. Apa kau benar-benar murid baru?” tanya Devin.

“Aku punya banyak tutor pribadi,” ungkap Hakyeon. “Ayahku tak pernah membiarkanku jauh darinya terlalu lama,”

Empat pasang mata mereka menatapnya seperti sebuah keajaiban. “Kupikir kau akan ada diurutan teratas disemua kelas.” Ucap Dan.

Hakyeon tidak tau cara berpikir mereka di sekolah umum jadi dia tak bisa menentukan level normal dari pengalaman, atau kekuatan sihirnya. Dan di tak tahu bagaimana caranya membicarakan hal itu dengan teman sekamarnya. Dia tidak tahu mereka atau bagaimana reaksi mereka melihat dirinya yang penuh dengan kemampuan sihir.

“Bagaimana jika kau meletakkan barang-barangmu dan kita keluar untuk makan pizza?” Ucap Ken, tersenyum lucu. “Walaupun tempat ini luas, tapi tetap saja akan sedikit sesak jika ada banyak orang.”

Hakyeon's WolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang