Pulang

9 0 0
                                    

"Resh, ngejas nggak lo?."

Suara Arsyad memecah konsentrasi Naresh yang sedang jongkok di kursi sembari menggigit tutup spidol, yang saat ini dikenakannya untuk menggambar meja kayunya. Naresh menoleh malas, sambil menggeleng.

"Nggak. Lo duluan ae." Sahut Naresh begitu tutup spidol yang digigitnya dipasangkan kembali ke spidol. Arsyad memutuskan segera beranjak pergi, meninggalkan Naresh yang kini bersandar pada tembok.

Suasana kelas saat ini sepi. Hanya tinggal Naresh seorang. Naresh mendongak, memandangi langit-langit kelas dengan tangan yang sibuk memutar-mutar spidol.

Suara bising kipas angin dan detik jarum jam menjadi hal yang Naresh sukai. Itulah mengapa Naresh memilih selalu jadi orang terakhir yang keluar kelas, alih-alih langsung ngacir pulang.

Seperti saat ini. Naresh memilih berdiam diri dalam kelas sampai merasa puas, setidaknya self-healing 5 menit cukup. Dan 10 menit lalu, dia masih terjebak pada keramaian yang tetap terasa asing dan sepi.

Getaran handphone di saku celana, mengalihkan perhatian Naresh sepenuhnya. Di rogohnya benda tipis berwarna putih itu. Pesan dari ibunya dan panggilan tak terjawab memenuhi notifikasi handphonenya. Sebelum dimasukkan pada saku, muncul lagi satu notifikasi dari ibunya yang menanyakan keberadaannya.

Ibu : Mas dimana?

Naresh mendesah. Disambarnya tas punggung diatas meja samping dan bergegas pulang.

Naresh hanya perlu pulang, untuk memastikan keluarganya.

{}

"Assalamualaikum." Naresh memasuki rumah yang sudah ditinggalinya selama 17 tahun ini. Rumah sederhana bertingkat dua dengan pekarangan yang asri, dipenuhi banyak pepohonan dan bunga-bunga.

"Waalaikumsalam." Sahut ibunya dari dalam. Seusai melepas sepatu dan kaos kaki, Naresh menghampiri ibunya yang tengah asyik menonton televisi.

Naresh merebahkan tubuhnya di sofa samping ibunya seusai mencium punggung tangan wanita paruh baya tersebut. "Ibu kangen banget ya, sampai anak lanangnya cuma telat pulang 5 menit ae dah diteror pulang." Naresh menggerutu.

Wanita paruh baya itu hanya terkekeh. "Siapa suruh sering ketiduran di kelas sampai maghrib. Kasihan pak tejo kudu bangunin kamu tiap hari."

Naresh memberengut. Ibunya mengalihkan perhatian sepenuhnya pada anak lelakinya tersebut. "Mas, masih ada uang kan? Ibu sama bapak belum ada uang."

Naresh mengangguk. "Masih kok bu. Tenang aja. Uang bulanan Naresh kemarin masih sisa. Masih cukup."

Ibunya mengangguk lega. "Yaudah kamu makan sana. Itu di meja ada tumis kangkung, tempe sama sambel." Naresh patuh, berjalan menuju meja makan dan kemudian kembali duduk samping ibunya dengan sepiring penuh.

"Ah ibu tontonannya tuya-tuya terus. Nggak mendidik itu bu. Banyak madharatnya. Isunya kalau nggak selingkuh, ya bohongin pasangan. Bikin mumet."

Mendengar Naresh berkomentar, ibunya hanya mendelik. "Yowes kamu nggak usah nonton."

Naresh hanya mengerutu dalam hati. Tipikal emak-emak, nggak mau kalah. Meski udah dikasih tahu itu cuma settingan, sampai lebaran kucing pun topik yang menguras emosi menurut sebagian masyarakat memang lebih seru dan tetap jadi bahan tontonan.

"Itu si cewek bego banget dah. Jelas-jelas itu cowoknya yang selingkuh, kenapa malahan jambak-jambakan sama selingkuhannya." Naresh geleng-geleng kepala, prihatin.

"Cewek sukanya gitu, mas. Seolah selingkuh mah salah selingkuhannya doang. Padahal itu si cowok kan juga turut andil ambil peran." Itu suara adik laki-lakinya, Alvan, yang entah bagaimana sudah ndusel diantara dirinya dan ibunya.

Spontan Naresh mendorong tubuh Alvan, "Eh ngapain lo dateng-dateng main ndusel." Alvan justru semakin merapat ke ibunya.

"Bu..." rengek Alvan, yang langsung dipelototi sang kakak.

Ghea, sang ibu langsung memberi ultimatum agar kedua kakak-adik itu tak mengganggu acara menontonnya "Berisik. Tuh lihat, jambak-jambakannya udah selesai kan."

"Lagian acara gituan ditonton sih bu. Nggak mendidik." Alvan ikut angkat suara.

"Tau tuh. Lagian itu si cewek geblek semua dah, udah tahu tuh cowok juga salah, lempar ae lah ke laut itu cowok." Kini giliran Naresh yang emosi.

Alvan terkikik geli, Naresh justru ikutan emosi, padahal kan hanya settingan. "Yaelah mas. Kayak nggak tahu aja sih, mereka para cewek tuh jatuh cinta sampai mengabaikan logika. Di otak mereka selingkuh tuh yang salah cewek ketiganya. Sibuk ngebombardir pelakor, tapi dirinya sendiri nggak sadar kalau selingkuh itu yang ngejalanin dua pihak."

Naresh mengangguk setuju "Enak di kita ya boy, selingkuh nggak bakalan disalahin"

"Jelas!" Sahut Alvan bersemangat.

"Berani main cewek tititmu tak sunat dua kali ya boys." Ibunya yang sudah selesai menonton acara tuya-tuya turut bersuara dengan nada ancaman, meninggalkan dua anak lelakinya yang bergidik ngeri.

Keluarga Naresh memang hangat, dua bersaudara dengan orangtua yang masih lengkap. Ayahnya berwiraswasta, ibunya merupakan guru honorer, dan adik yang masih duduk di bangku SMP. 

Harta yang paling berharga memang keluarga. Naresh senantiasa berharap, sekarang atau tahun-tahun mendatang, keluarganya masih mampu menumpu bebannya. Atau mungkin Naresh lah yang menunpunya. Apapun itu, Naresh selalu ingin pulang.

CLASS CLOWNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang