[31] Perang Saudara Di Chinatown

65 16 8
                                    

"SEBENARNYA, aku ingin menanyakan ini sejak tadi," ujar Ryosuke setelah kami turun dari bus.

Sekarang sudah pukul tiga lewat lima belas, dan kami sudah menghabiskan banyak waktu di Hakkeijima Sea Paradise.

Aku menolehnya. Kami sama-sama berjalan menuju gerbang Chinatown. Pandangannya turun ke bawah dan berhenti tepat di lututku.

"Ada apa dengan lututmu?"

Aku menunduk, mengamati lutut kiriku yang ditutupi dengan plester luka. "Oh, ini karena aku terjatuh dari sepeda," jawabku. Aku kembali menatapnya. Kini alis sebelahnya terangkat, memandangku sangsi.

"Kau... mengendarai sepeda lagi?" katanya, "Bukankah setahun yang lalu sepedamu sudah diberikan kepada sepupumu?"

Aku langsung membungkam. Agaknya aku harus segera menghajar mulutku ini sepulang kencan nanti karena telah berkata begitu jujur. Aku menatapnya, berharap jika ia tak membicarakan masalah lututku. Namun, ia malah menanti-nanti keluarnya kata-kata dari mulutku.

Jantungku berdentum keras, seakan sedang menerjang-nerjang dinding paru-paruku untuk segera keluar dari sana. Aku tak bisa mengatakan jika sebenarnya aku terjatuh dari sepeda bersama Aki setelah pulang dari Chinatown beberapa hari yang lalu. Maksudku, ini kencan kami. Aku tak mau menghancurkan suasana yang sejak tadi mengembirakan ini hanya karena menyebut nama 'Aki'.

"Kau mau makan apa?" tanya Ryosuke. Ia mengalihkan pembicaraan dan mengedarkan pandangan ke sekitar.

Sesuatu baru saja lolos dari relung hatiku.

Aku tersenyum lega, lalu menggamit tangannya. Kami masih menyeret kaki, menembus keramaian di jalanan Chinatown. "Apa saja."

"Mau makan sup sirip hiu?"

Aku menyipitkan mata, "Ew! Aku tak mau."

"Mengapa? Bukankah para perempuan senang memakan sirip hiu? Mereka bilang, sirip hiu bisa membuatmu awet muda dan merawat kulitmu agar tampak bersinar."

Aku juga tahu tentang fakta itu. Tapi, tetap saja. Aku tak mau. Membayangkan mangkuk yang diisi dengan kuah yang seperti lendir saja sudah membuatku ingin muntah.

"Aku mau makan soft ice cream saja." Kataku. Ia pun tak membahas tentang sirip hiu lagi.

Sebentar saja, kami sudah berdiri di depan kedai yang menjual soft ice cream—bukan di kedai yang kuhampiri bersama Aki waktu itu. Ryosuke memesan satu soft ice cream rasa stroberi kepada seorang wanita muda yang berdiri dari balik konter. Saat wanita muda itu berjalan ke mesin ice cream, aku tertunduk, mengamati kalung yang melingkari leherku. Aku tersenyum kecil sambil menatap bandul berbentuk bunga lily itu.

"Tidakkah cuaca hari ini lumayan dingin?"

Aku mengangkat pandangan. Ternyata Ryosuke sudah selesai membayar kepada si penjual itu dan menyodorkan soft ice cream rasa stroberi kepadaku. Aku pun menyambutnya.

"Ya, cuaca hari ini semakin dingin." Kataku, "Tapi, bukan berarti aku tak bisa memakan soft ice cream. Omong-omong, kau tak memesan?"

Ia menggeleng. "Hari ini dingin. Aku ingin makan yang hangat-hangat."

"Bagaimana kalau kita—"

"Yurika!" teriak seseorang yang sukses menghentikan kata-kataku.

Aku dan Ryosuke serentak menoleh ke belakang, mencari ke mana asal suara tersebut. Saat sesosok pemuda bertubuh jangkung dengan rambut berwarna cokelat ditangkap oleh penglihatanku, secepatnya aku menjauhkan jemariku dari jemari Ryosuke.

Season To Choose YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang