"Sebenernya kita mau kemana sih, Mahardika Arjuna Gal--"
"WOOW!!!" Teriak Juni tiba-tiba saat mereka sudah sampai di puncak gedung. Mereka berada di rooftop gedung kosong itu.
Juni tiba-tiba langsung meloncat turun dari punggung Juna. Juni menatap kagum apa yang dilihatnya.
Sebuah kota Jakarta, yang penuh dengan gemerlap lampu-lampu jalan. Jakarta terlihat indah di atap gedung ini.
Juni bisa melihat kemacetan jalan Jakarta. Lampu-lampu mobil yang menyala. Kerlap-kerlip lampu papan iklan. Dan Juni merasakan sejuknya udara di atap gedung ini.
"Suka?" Tanya Juna yang sedari tadi diam, membiarkan Juni merasakan suasana di rooftop ini.
Juni menganguk kecil. Ia duduk di bangku panjang sambil menutup matanya, menikmati udara yang menerpa wajah cantiknya.
"Kalau gue ada masalah, gue selalu ke sini. Sendiri. Dan disini gue bisa teriak sekeras-kerasnya." Tutur Juna pelan.
"Dan gue selalu kesini setiap hari." Tambahnya.
"Kayak lo punya masalah aja." Balas Juni.
Juna tak menyahuti ucapan Juni. Ia memilih diam, dan menikmati suasana di atap gedung itu.
"Jun"
"Jun"
Ucap mereka bersamaan. Tiba-tiba Juni merasa canggung untuk sekedar berbicara kepada Juna.
"Ladies first" ucap Juna memecah kecangunggan mereka.
"Gak penting sih, gue cuma mau nanya, kok lo bisa tau tempat ini?" tanya Juni sambil membenarkan rambutnya yang terkena angin.
"Dulu, gue sama temen gue lagi main. Orang tua kita lagi ngobrol di rumah temen gue. Dan gue sama temen gue main di taman yang tadi. Terus tiba-tiba ada orang-orang besar ngeliatin ke arah gue. Dan waktu itu gue ngerasa bahaya sedang mengancam kami berdua. Gue langsung ngomong sama temen gue buat kabur. Terus orang-orang itu ngikutin kita. Gue udah mau nangis waktu itu. Tapi temen gue bilang, kalau ini bukan waktunya buat nangis--"
"BHAHAHAHA. Gila lo cengeng banget sih." potong Juni sambil tertawa terbahak-bahak.
"Lanjut nggak nih?!" tanya Juna dengan kesal.
Juni menganguk-anguk sambil mereda tawanya.
"Temen gue bilang kalau kita pasti bisa sembunyi dari kejaran orang-orang itu. Waktu itu, hari udah mulai gelap, dan gue sama temen gue masih dikejar sama orang-orang itu. Akhirnya temen gue, ngajak gue masuk ke dalam sebuah bangunan. Kosong dan gelap. Gue takut dan gue terlanjur nangis. Temen gue nyuruh gue buat diem dan jangan bersuara." cecar Juna sambil menatap lurus ke arah lampu-lampu.
"Temen gue itu emang udah kayak kakak gue sendiri. Gue akuin gue emang cengeng dulu, dan dia yang selalu bikin gue tenang. Akhirnya kami menaiki tangga di gedung itu sampai akhirnya kami tiba di atap gedung. Temen gue nyuruh gue buat sembunyi di balik tembok beton. Dan kami sembunyi di balik tembok itu sampai orang-orang yang ngejar kita pergi. Gue nangis karena gue ngerasa orang tua gue nggak nyari gue. Gue dam temen gue semalaman disitu. Pas udah mulai malem, temen gue ngajak keluar dari balik tembok itu. Dan waktu itu udah malem. Pas keluar dari balik tembok, gue ngelihat banyak lampu-lampu kerlap-kerlip yang bikin gue awalnya takut jadi nggak takut. Gue suka ngelihatin lampu-lampu itu. Dan gue ngerasa tenang. Sampai akhirnya gue sama temen gue ketiduran di atap gedung itu. Dan paginya gue sama dia turun dari gedung itu, dan di luar gedung udah banyak orang-orang nyariin gue sama temen gue. Dan setelah kejadian itu, gue sering banget dateng ke gedung itu sekedar nenangin pikiran." Tutur Juna dengan senyuman kecil yang menghiasi wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUNA & JUNI
Teen FictionMahardika Arjuna Galaksi. Cowok badboy, tapi nggak mencerminkan sifat badboy. Ganteng, keren, karismatik, sudah jelas. Cerdas pula. Sang Difa sekolah yang dikenal badboy, tapi percayalah, dia tidak playboy. "Nggak semua cowok badboy itu playboy, Jun...