"stai bene?"
aku menoleh pada sumber suara. seorang laki-laki jangkung berdiri tepat dihadapanku, dengan kaus hitam polos dan ripped jeans hitamnya yang hanya sobek dibagian lutut, lelaki itu mengenggam gelas kecil berisi cairan berwarna coklat keemasan di tangan kanannya. ia berbicara padaku. namun aku tidak mengerti bahasa italia. dan kepalaku terlalu pening hanya untuk memikirkan kemungkinan dari arti kalimat yang ia ucapkan. maka aku menenggak minumanku sekali lagi, tanpa mengacuhkannya.
"club isnt the best place to find a lover, ed sheeran said, huh?"
rupanya ia mengerti aku tak memahami bahasa itali-nya. namun aku juga tak mengharapkan ia untuk repot-repot berbahasa inggris demi mengajakku mengobrol. lagipula, bahasa inggrisnya terdengar cukup kacau ditelingaku. ia bahkan mengucapkan ed sheeran seperti ed-e shyi-earan. aku memutar bolamata, cukup jelas untuk menunjukkan padanya bahwa aku sedang tidak ingin meladeni siapapun.
"aku tidak datang ke sini untuk mencari kekasih. dan tidak pula untuk berbicara denganmu."
ia kemudian duduk tepat disebelahku, tanpa aku suruh, tanpa menunggu aku tawarkan, tanpa meminta izin atau bertanya telebih dahulu. sangat italia.
"kau kelihatan begitu kacau." ia menatapku dengan tatapan jijik sekaligus iba, mencondongkan tubuhnya seperti sedang membaca sesuatu dariku. seketika itu juga aroma vanilla mencuat hebat dari tempatnya berada.
"bagaimana kau tahu?" aku menenggak minumanku lagi. minuman yang sebenarnya terasa sangat tabu di lidahku. kalau aku tidak salah, cuka apel pun setidaknya masih terasa lebih baik daripada minuman yang kubayar seharga tiket pesawat menuju italia ini.
"aku memperhatikanmu sedari tadi." ia mengunci mataku dengan matanya, coklat terang. mengkilap dan kerlap kelip lampu diatas kami memantul sempurna di matanya.
"dan atas hak apa kau memperhatikanku?"
"cukup mudah. kau aneh. kau berbahasa inggris, yang artinya bahwa kau tidak berasal dari italia. dan kau jauh-jauh datang ke italia, hanya untuk, mabuk? kau berpakaian terlalu berlebihan hanya untuk datang ke sebuah club. maxi dress. oh, yang benar saja? dan, kau sedari tadi hanya duduk sendirian dan menenggak henessy-mu dengan tatapan kosong tanpa sedikitpun menikmati alunan musik yang diputarkan."
aku tak bergeming. hanya menatapnya untuk sepersekian detik lalu mengalihkan pandangan. masih terdiam, aku berusaha mencerna kalimat yang baru saja ia ucapkan. semuanya benar. kecuali ia mengatakan bahwa aku jauh-jauh datang ke italia hanya untuk mabuk. diluar itu, semuanya benar. ketelitiannya dalam menilaiku, kau bisa bilang bahwa ia menghampiriku karna ia tahu ada sesuatu yang tidak beres, dan karna hal ini, aku merasa risih. tak habis pikir mengapa pria ini mendatangiku seolah hanya untuk berkata bahwa aku terlihat seperti orang gila yang depresi.
"dan oh, kau sendirian. kau menenggak hennessy dan kau seorang diri. aku hanya takut seandainya para dewa diatas sana menunjukku untuk menolongmu ketika kau nanti mabuk dan pingsan karena minuman yang sudah kau telan tigakali dalam gelasmu itu. aku berupaya menghentikan kejadian tersebut, sebelum terjadi sungguhan."
kata-katanya yang bertubi-tubi justru membuat kepalaku semakin pusing. aku menyipitkan mata, berusaha mensinkronisasikan cara kerja otakku yang entah bagaimana sudah mulai terasa hilang kendali sejak aku menghabiskan minumanku digelas yang ketiga. aku membuka mata dan mendapati laki-laki itu memandangi wajahku, aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. kumis tipis dan hidungnya menjulang kedepan. aku bersikeras menyelundupkan rasa kesalku, berusaha agar tak membentaknya atau mengusirnya dengan teriakan.
"aku tak pernah tau orang-orang italia percaya para dewa."
"oh, itu hanya sebuah kata kiasan."
aku mengangguk seraya tersenyum simpul. selera humor pria ini sekacau logat berbahasa inggrisnya.
"aku tak pernah ke tempat seperti ini sebelumnya. aku bukan tipikal gadis yang bermalam diclub sembari mabuk-mabukan dan baru pulang ketika fajar hari, mungkin terdengar menjijikan ditelingamu, tapi aku tinggal di asrama putri sejak belia."
ia mengerutkan alis, raut wajahnya menunjukkan kebingungan. maka aku tahu apa yang ada dalam pikirannya.
"bukan begitu. aku tidak tinggal di asrama putri karena aku bermasalah dengan obat-obatan atau semacamnya, hanya saja, keluargaku amat tergila-gila dengan sesuatu yang disebut akhlak dan moral."
ia mengangguk tanda mengerti. lalu menaruh gelas mungilnya itu diatas meja didepan kami. ia melipat tangan dan menopang sikunya diatas paha.
"lalu apa yang terjadi pada adat istiadat keluargamu? kau jelas melanggarnya. dan tolong jangan katakan padaku kau masih dibawah umur untuk minuman ini."
aku menggeleng, "aku masuk kesini dengan tanda pengenal. aku sudah berusia tujuh belas tahun sejak dua tahun lalu, dan ya, dengan umurku yang tergolong sudah dewasa, aku berhak menentukan apa yang ingin aku lakukan atas hidupku."
ia terdiam untuk beberapa detik setelah mendengar perkataanku.
"kata-katamu terlalu dramatis. yah, walau begitu, kau tetap saja seorang perempuan. dan kau tak boleh terlalu banyak mengkonsumsi alkohol. sekarang mari kita ambilkan minuman yang lebih pantas kau minum."
sungguh? peduli apa dia tentang kesehatanku? lagipula, aku tak membayar minuman ini dengan satu lembar mata uang yang kupunya. yang benar saja, aku benar-benar menghamburkan uang!
ia hendak bangun dari tempatnya, namun aku mengelak,
"tidak usah repot-repot. kita tidak saling mengenal. aku bahkan tak tahu namamu. saat aku masih kecil, keluargaku akan sangat marah apabila mendapati aku sedang berbicara dengan orang yang tak dikenal. aku menghargai kepedulianmu, tapi sungguh, aku tak memerlukannya."
laki-laki yang kutebak tingginya sekitar 185cm ini kemudian menyengir amat lebar dan memamerkan deretan gigi-gigi putihnya yang tersusun rapi disana. sejurus kemudian ia mengulurkan tangannya untuk berjabat denganku.
"aku hampir lupa. namaku amoria ricci danilo."
"amoria? amoria, seperti peradaban bangsa babilonia, maksudmu?" aku tertawa kecil, dan tawa itu terasa hambar di telingaku sendiri.
aku belum sempat membalas jabatan tangannya, ia sudah terlebih dahulu menurunkan tangan,
"kau orang kesekian yang mengejek namaku seperti itu. aku cukup terkesan manusia dijaman sekarang masih berwawasan tentang sejarah. kau bisa memanggilku amoria, atau moria."
"terlalu sulit. aku akan memanggilmu ricci."
sebenarnya bukan terlalu sulit, hanya saja nama moria terdengar begitu aneh ditelingaku apabila digunakan untuk memanggil seorang laki-laki. nama macam apa itu? orang-orang italia sungguh membuat nama panggilan teraneh yang pernah aku tahu.
"baiklah. dan kau?"
kali ini giliran aku yang mengulurkan tangan padanya, hendak memperkenalkan diri,
"victoria luna miller."
KAMU SEDANG MEMBACA
all i know•
Short Storytragedi. kekecewaan, kepedihan, kesesakkan. ketiganya tersirat dibenak siapapun ketika mendengar kata tragedi. tragedi. kisah romeo dan juliet karya shakespeare. ketika romeo bunuh diri sesaat setelah mengira juliet telah meninggal, dan juliet mal...