amoria ricci danilo. nama yang sangat italia. kau akan langsung mengenal status kebangsaan seseorang dengan nama seperti itu.
"dan karena kau memanggilku dengan nama tengah, maka akupun akan memanggilmu dengan nama tengah pula. halo luna." pria itu membungkuk dan mengayunkan tangan kanannya menuju dada ketika ia mengucap "halo luna". aku terkekeh.
"aku punya banyak pertanyaan untuk kau jawab. namun jika kau merasa keberatan, itu tak apa. aku akan kembali pada kerumunan orang-orang ini."
nada bicaranya kali ini terdengar lebih serius dari sejak pertama kali ia memulai percakapan denganku. aku menunduk, kemudian mendentingkan kuku jariku pada gelas yang kugenggam. pria ini seolah memberiku dua pilihan yang harus kuambil: menghabiskan waktu sendirian di club dan sofa ini sambil menenggak minuman sok-mewah-ku ini, atau membiarkan dia menemaniku, untuk waktu yang sebentar atau lama, aku takkan pernah tau. maka aku menoleh padanya, menatap lurus pada bolamata yang terbuka lebar menunggu jawabanku. apakah aku benar-benar akan membiarkan pria dihadapanku ini berbincang denganku sepanjang malam, atau hanya untuk beberapa menit kedepan? aku baru mengenalnya. satu satunya hal yang aku tau darinya adalah namanya. itu saja. apakah aku bersungguh-sungguh akan mengizinkan dia membanjiriku dengan pertanyaan, malam ini? atau lebih tepatnya, apakah aku cukup percaya padanya untuk menceritakan segala alasan yang membawaku kemari, malam ini?
aku menghela nafas. dengan setengah suara, aku berusaha menjawab,
"kau boleh bertanya."
ia tersenyum lega mendengar kalimatku. kini ia mengambil kembali gelas minumnya yang sebelummya ia letakkan diatas meja,
"sebelum itu, bolehkah aku menuangkan sedikit dari botolmu?"
aku mengangguk, "tentu saja."
"grazie,"
"di niente," balasku, yang artinya bukan 'sama-sama', tapi lebih kepada 'itu tidak apa-apa.' dan aku hampir menertawai ucapanku sendiri, karena aku mengucapkan bahasa italia dengan sangat buruk. tapi pria ini justru menyunggingkan senyum, segera setelah ia mengenggak habis minuman yang ia tuangkan ke gelasnya.
ia terlalu banyak tersenyum padaku, entah sudah berapa kali ia tersenyum semenjak menit pertama kita bertemu, namun ia benar-benar murah senyum. atau hanya padaku? aku tak tahu.
"nah, sekarang, mari kita mulai. pertama-tama, kau datang darimana?"
aku menghela nafas, gambaran tentang indahnya san fransisco membuatku sedikit merasa homesick. padahal aku baru saja tiba dinegara ini.
"san fransisco."
ia mengangguk cepat, gelagatnya seperti berusaha membayangkan seperti apa kota san fransisco yang kubicarakan. karna tak mengatakan sepatah katapun, maka aku yang menambahkan,
"kau pernah kesana?"
ia menatapku, badannya ia tegakkan. kini aku harus sedikit mendongak untuk mensejajarkan pandangan kearah wajahnya.
"tidak. namun aku sering mendengarnya."
"kalau begitu, suatu hari nanti kau harus mengunjunginya. san fransisco adalah kota metropolis terbaik yang pernah ku tahu." dengan bangga aku mengucapkannya.
"ah, ya. tentu saja! akan aku masukkan dalam daftar travel-ku."
"kau suka bepergian?"
ia berdeham, mencoba mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaanku.
"mungkin, suatu saat nanti."
aku menyipitkan alis, namun sambil tersenyum. pria ini aneh. namun aku tak merasa menyesal membuat keputusan untuk membiarkannya berbincang-bincang denganku.
"kapan kau tiba di verona?" ia bertanya.
verona. aku hampir lupa aku berada di verona. bukan berarti aku lupa bahwa aku sedang berada di italia, hanya saja aku lupa bahwa destinasiku adalah verona. kota dimana romeo dan juliet saling jatuh cinta. namun aku bukanlah juliet, aku tak punya kisah bahagia disini. atau mungkin aku adalah juliet, yang mengalami akhir tragis di verona.
"pagi ini. tepatnya pukul sepuluh."
ia mengangguk lagi, kurasa untuk setiap pertanyaannya yang kujawab. lalu ia berdeham lagi, seraya mengelus-elus dagu-nya yang sebenarnya tidak ada rambut atau apapun disana, atau mungkin mataku tak bisa melihatnya dengan jelas dengan cahaya lampu remang-remang ini. ia seperti sedang memilih pertanyaan yang akan ia lontarkan selanjutnya. sampai pada akhirnya,
"apa yang membawamu kesini?"
pertanyaan itu. pertanyaan yang sudah kuduga akan ia tanyakan. aku hanya tak mengira bahwa mendengar pertanyaannya yang seperti itu akan membuatku merasa sangat mual, aku sudah tidak meminum hennessy-ku, namun kepalaku terasa berat. aku memutar kembali kejadian hari ini. aku berangkat dari rumah, ke bandara, sampai di verona, mencari hotel, berbaring sebentar, pergi je salon terdekat, menyiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadiri pesta ulangtahun Keegan, berangkat dari hotel, menyaksikan Keegan mengecup kening perempuan lain, menangis, dan sampai aku berakhir ditempat ini. tempat yang tak pernah ku tahu apa namanya. dan tak pernah kusangka akan bertemu dengan ricci. aku tak mengatakan apa-apa untuk menjawabnya. aku menuangkan minuman lagi. berharap cairan ini dapat membantuku berkata jujur dan menceritakan semuanya pada ricci, tanpa harus merasa sesak dan terisak oleh tangisan, lagi.
"tak apa jika kau tak ingin menceritakannya." katanya, setelah melihatku menghabiskan minuman dengan sekali tenggak.
"i'll better tell you this when im not sober."
ia terperangah, aku hendak menuangkan lagi hennessy-ku ke gelas, alih-alih membuatku benar-benar mabuk. namun ia menahanku. tangannya mengenggam erat botol yang kini isinya tinggal setengah. tangan satunya ia gunakan untuk menuntun tanganku agar lepas dari botol yang tadinya hendak aku tuang ke dalam gelasku.
"you're gonna tell me this while youre sober."
KAMU SEDANG MEMBACA
all i know•
Cerita Pendektragedi. kekecewaan, kepedihan, kesesakkan. ketiganya tersirat dibenak siapapun ketika mendengar kata tragedi. tragedi. kisah romeo dan juliet karya shakespeare. ketika romeo bunuh diri sesaat setelah mengira juliet telah meninggal, dan juliet mal...