Dinda. Perempuan yang terlihat bahagia, tetapi belum pernah benar benar merasakan bahagia. Dari kecil Dinda hanya tinggal bersama Mba Arin, pengasuhnya. Dinda punya orangtua, tetapi mereka sibuk dengan bekerja hingga tidak mempunyai waktu luang untuk Dinda. Dinda adalah anak satu - satunya. Hari harinya hanya dihabiskan dengan belajar, belajar, dan belajar. Sebenarnya impiannya adalah menjadi musisi, tetapi impiannya seketika lenyap karena tuntutan orangtuanya yang ingin ia menjadi pengusaha dan meneruskan usaha orangtuanya. Dinda selalu menjadi juara umum di SMA 53, sekolahnya. Walaupun begitu, Dinda tidak memiliki teman dekat atau sahabat. Dia dikenal sebagai anak yang pintar, ramah, dan ceria.
Tiba tiba keadaan semakin memburuk saat Dinda mengikuti upacara lalu Dinda pingsan. Dinda berfikir mungkin dirinya hanya kelelahan, tetapi semakin lama tubuhnya semakin parah. Mulai dari sering pingsan, mimisan, batuk berdarah, hingga berat badannya turun drastis. Akhirnya Dinda ditemani oleh Mba Arin ke Dokter. Setelah usai diperiksa, ternyata Dinda mengalami Leukemia.
Perasaan Dinda hancur, ia tak tahu harus berbuat apa selain mengikuti kemoterapi. Tetapi ia meminta Mba Arin agar tidak memberi tahu apapun kepada orangtuanya. Ia tidak mau merepotkan dan menambah beban orangtuanya.
Bulan demi bulan berlalu, keadaan Dinda malah semakin parah. Tubuhnya pucat, rambutnya rontok, bahkan ia harus duduk di kursi roda. Sudah seminggu ia tidak masuk sekolah karena keadaannya yang semakin parah. Papa dan Mama Dinda juga baru mengetahui kalau Dinda menderita Leukemia, dan mereka memutuskan untuk cuti agar bisa menemani Dinda. Dokter memprediksi bahwa dengan keadaannya sekarang, kemungkinan besar umur Dinda tidak lama lagi.
Papa dan Mama Dinda pun sudah mencari berbagai tempat pengobatan, tetapi hasilnya nihil. Hari hari Dinda sekarang hanya dihabiskan untuk pengobatan sana sini. Papa, Mama, dan Mba Arin pun setia menemani Dinda untuk melakukan pengobatan.
Seminggu setelahnya, Dinda tiba tiba mengatakan kepada orangtuanya bahwa ia sangat menginginkan bernyanyi untuk kedua orangtuanya di cafe yang dulu sering mereka kunjungi saat Dinda masih kecil. Orangtua Dinda pun menuruti keinginan Dinda.
Keesokan harinya, saat tiba di cafe yang sering mereka kunjungi saat Dinda masih kecil, Dinda pun langsung naik ke panggung dan mulai memainkan gitar pink kesayangannya sambil menyanyikan lagu 'Ada Band - Yang Terbaik Bagimu'. Lalu setelah selesai, ia berkata "Maafin Dinda Pa, Ma, kalau selama ini Dinda belum bisa jadi anak yang Papa dan Mama inginkan. Selama ini Dinda selalu ingin buktikan kepada Papa dan Mama kalau Dinda selalu berusaha menjadi yang terbaik seperti yang kalian inginkan. Dinda harap, Papa dan Mama bersedia ke kamar Dinda dan melihat semua yang telah Dinda capai untuk kalian. Dinda sangat sayang kepada Papa dan Mama" ucapnya sambil menangis dan tidak lama kemudian ia pingsan. Papa dan Mama Dinda yang sedari tadi menangis dan terhatu atas apa yang Dinda nyanyikan dan katakan pun langsung lari dan membawa Dinda ke RS.
Setelah sampai di RS ternyata Dinda mengalami koma. Dengan wajah penuh rasa menyesal dan bersalah, Papa dan Mama Dinda pun menangis sejadi - jadinya.
Beberapa menit kemudian Mba Arin mengatakan kepada Papa dan Mama Dinda bahwa sebaiknya mereka pulang dan melihat kamar Dinda seperti yang diinginkan Dinda.
Saat sampai rumah, Papa dan Mama Dinda semakin menangis melihat puluhan penghargaan yang telah didapatkan oleh Dinda. Lalu, mata Papa dan Mama Dinda beralih ke Diary kecil berwarna pink Dinda yang terletak di atas meja.
Diary tersebut berisi tentang keinginan Dinda berkumpul bersama Papa dan Mama Dinda, keinginan Dinda menjadi musisi, dan terakhir keinginan Dinda untuk bahagia. Dinda bercerita kepada diary tersebut bahwa dia belum pernah benar benar bahagia, sampai saat ia bernyanyi untuk orangtuanya tiba.
Bernyanyi untuk orangtuanya adalah impian dia yang akan membuatnya benar benar bahagia. Ia merasa sangat senang ketika impiannya dikabulkan oleh kedua orangtuanya.
Saat sedang menangis sambil membaca diary Dinda, tiba tiba Mba Arin menelepon dan mengatakan bahwa Dinda sudah siuman dan ingin bertemu dengan orangtuanya. Papa dan Mama Dinda pun langsung bergegas menuju RS.
Setelah tiba di RS, orangtua Dinda langsung bertemu Dinda dan mengatakan maaf serta mengatakan bahwa mereka sangat bangga kepada Dinda. Dinda tersenyum dan mengatakan "Dinda sayang Papa dan Mama. Terimakasih sudah memenuhi impian dan keinginan terakhir Dinda Pa, Ma." Lalu mesin EKG tiba tiba berbunyi dan menampilkan garis datar dilayar. Dokter dan suster langsung berlari dan membawa keluar orangtua Dinda yang sedang nangis dan panik diruangan.
Setelah memeriksa kondisi Dinda, dokter keluar dan memberi tahu kepada kedua orangtua Dinda bahwa nyawa Dinda tidak bisa tertolong.
Papa, Mama, dan Mba Arin menangis sejadi jadinya. Lalu Mba Arin memberikan surat yang sempat Dinda buat terakhir kali.
' Papa, Mama terimakasih sudah menjadi orangtua Dinda. Dinda adalah anak yang paling beruntung punya orangtua seperti kalian. Kalau nanti Dinda dilahirkan kembali, Dinda pasti milih untuk tetap jadi anak kalian. Seumur hidup, Dinda belum bener bener bisa bahagia Pa, Ma kalau tanpa kalian. Terimakasih kalian sudah bersedia mengabulkan impian dan keinginan Dinda. Dinda sayang kalian!❤'
love, Dinda❤