~02~

142 10 10
                                    

"Assalamu'alaikum." Suara dari seberang sana tetap membuat hati Zahra seakan-akan sedang melompat riang.

"Wa'alaikumsalam, Ayah..." Jawab Zahra dengan riang.

"Anak Ayah lagi ngapain? Kok kayaknya bahagia banget?" Kata Ayah. Zahra yang mendengarnya akhirnya tertawa kecil.

"Habis ngaji, Yah. Ga papa, senang ajah, Ayah akhirnya telpon Zahra." Kata Zahra sambil senyum-senyum sendiri. Rumahnya sepi, tinggal sendirian, ternyata senyumnya juga sendirian. Kasihan kau nak.

"Owh... Senang yah kalau Ayah telpon?" Tanya Ayah.

"Senang bangetttt..." Jawab Zahra dengan semangat 45.

"Iya-iya deh. Udah belajar belum? Besok ada PR ga?" Tanya Ayah.

"Hehehe.. belum, Yah. Besok ada PR, tapi udah Zahra kerjain kok, tapi belum semua. Hehe." Kata Zahra cengar-cengir sendiri.

"Hmmm... Belajar donk. Udah makan belum?" Tanya Ayah. Zahra lagi-lagi tak bisa menahan senyumnya.

"Belum, Yah. Tapi tadi udah makan jajan di rumah Tante Elina. Sekalian tadi main sama dede." Kata Zahra.

"Hmm... Jajan mulu. Oh ya? Kok Tante Elina atau Om Januar ga bilang ya? Gimana kabar Dede?" Tanya Ayah.

"Hehehe... Mungkin sibuk kali, Yah. Jadi ga sempat ngasih tau. Kabar Dede baik kok." Kata Zahra.

"Nakal ga?" Tanya Ayah.

"Yeee... Ayah kayak ga kenal Dede ajah. Dede sih ga nakal, Yah. Tapi juteeeeekkkkkk banget, Yah. Ga tau deh nurun siapa. Padahal Zahra ga lho.." kata Zahra. Sedikit ada penyesalan setelah Zahra bilang seperti itu. "Apa nurun Bunda ya?" Batin Zahra. Zahra menyesal berbicara seperti itu. Habisnya Zahra kalau berbicara ga kenal waktu, asal nyerocos ga ngerem lagi. Malah gas pol. Seketika senyum di wajah Zahra memudar.

"Hahahaha.. iya-iya. Dede emang jutek. Tapi Kak Zahra jangan donk.. nanti ga ada yang berisik lagi." Kata Ayah. Zahra yang mendengar Ayahnya tertawa kembali tersenyum. Ternyata ayahnya tidak terlalu peka. Zahra yang mendengar ucapan Ayahnya juga ikut tertawa.

"Kak, Kayaknya Ayah ga bisa pulang. Mungkin pekan depan. Maaf ya kak." Kata Ayah. Zahra yang baru tertawa langsung bungkam begitu saja. Tapi Zahra tak ingin Ayahnya tau bahwa Zahra sedih. Jadi terpaksa Zahra memaksa senyum palsunya ini. Waktunya menjadi Zahra si fake smile.

"Iya, Yah. Ga papa kok. Semangat ya kerjanya, Yah." Kata Zahra sambil tersenyum pahit. Lalu berjalan menuju tempat tidurnya, masih menggunakan mukenanya.

"Iya. Kak Zahra juga harus semangat belajar lho ya! Biar jadi yang terbaik. Kan kalau jadi yang terbaik bisa buat Ayah bangga." Kata Ayah. Zahra yang mendengarnya merasa jantungnya tertusuk pisau. Tiada kata 'bunda' disana. Apa memang sudah tidak ada? Zahra mohon, jangan bilang itu benar.

"Iya kok, Yah." Kata Zahra. Kini Zahra tak berani berbicara panjang-panjang. Dia takut suaranya yang sudah mulai bergetar itu terdengar hingga ke seberang sana. Zahra tak ingin Ayahnya tahu. Zahra-Tak-Ingin.

"Ya udah. Kak Zahra belajar ya... Jangan lupa makan... Nanti sakit... Ya udah ya... Ayah masih ada kerjaan." Kata Ayah. Zahra sebenarnya tak berani menjawab, tapi dari pada Ayahnya curiga?

"Iya, Yah. Ayah jangan lupa shalat ya..." Suara Zahra yang sedikit bergetar itu terdengar hingga telinga Ayahnya. Ayahnya tahu, bahwa anaknya itu pasti sedang menahan tangis. Tapi Ayahnya tetap bersikeras untung menyudahi telponnya ini.

"Ya udah. Wassalamu'alaikum." Kata Ayah, lalu sambungan telepon terputus.

"Wa'alaikumsalam." Kata Zahra sambil meletakkan handphone miliknya itu di atas pangkuannya. Tak disangka, air mata turun begitu saja.

Titip Rindu Untuk BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang