Ketika Cinta harus Memilih - Part 01
Dua bulan kemudian.
Pantai teluk Kupang sore itu tampak begitu mempesona. Cahaya matahari yang kuning keemasan seolah-olah menyepuh atap-atap rumah, gedung-gedung dan kendaraan-kendaraan yang lalu lalang di jalan. Semburat cahaya kuning yang terpantul dari riak gelombang di pantai menciptakan aura ketenangan dan kedamaian.
Di atas pasir pantai, anak-anak masih asyik terlihat bermain kejar-kejaran. Ada juga yang bermain rumah-rumahan atau istana dari pasir. Butiran-butiran pasir yang basah itu tampak berkilau ditimpa cahaya matahari senja. Di beberapa tempat di sepanjang pantai, sepasang muda-mudi tampak bercengkerama mesra. Beberapa dari antara mereka tampak masih memegang buku-buku tebal di tangan, pertanda bahwa mereka baru pulang kampus dan belum sempat pulang ke rumah. Suasana senja di pantai tampaknya lebih menarik untuk bercengkerama dengan sang pujaan hati.
Aku memandang ke arah pantai. Gelombang dari kejauhan sana bergerak naik turun, kejar-mengejar dan menampakkan keriangan yang menawan. Semilir angin mengalirkan kesejukan. Suara desaunya menciptakan suasana yang tentram.
Setengah jam sudah aku menemani Tiara, berjalan-jalan di tepian pantai setelah menjemputnya pulang dari kampus. Tiara adalah seorang gadis yang berusaha terlihat tangguh, meskipun sebenarnya ia dilingkupi kerapuhan yang sewaktu-waktu bisa patah dan remuk bila tak lagi sanggup bertahan.
Kehidupannya bersama keluarganya baik-baik saja, bisa dikatakan sempurna. Namun, itu sebelum Tiara ketahuan oleh ayahnya berpacaran dengan Samuel, teman sekolahnya semasa SMA. Ayahnya mati-matian menentang karena perbedaan agama. Tiara adalah seorang muslimah, sedangkan Samuel tidak.
Tiara tetap teguh pendirian, bahkan nekat mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan ajaran kristiani. Akibatnya, Tiara dikucilkan oleh keluarganya. Meskipun demikian, Tiara berusaha untuk tetap menjalani hidup dengan bersabar. Semua anggota keluarganya mengabaikannya, menganggapnya sudah tidak ada.
Berdasarkan ceritanya, adiknya Amanda dilarang berbicara dengannya atas perintah ayahnya yang memang otoriter. Ibunya pun demikian; meskipun saling berpapasan di dalam rumah, Tiara dianggap tidak ada, bahkan seperti tidak melihatnya meskipun mereka berada di dalam ruangan yang sama. Ayahnya bahkan terang-terangan membuang muka ketika tanpa sengaja Tiara berpapasan dengannya. Bukan hanya sekali, bahkan ibu dan adiknya sama sekali tidak membantu.
Aku tidak menolak permintaan Tiara untuk menemaninya sore ini sepulang dari kampus. Aku menyadari, ia tidak ingin menghabiskan waktu di rumah yang kini tidak lagi memberikan kenyamanan baginya. Tiara ingin pulang, namun pulang malam pun tak ada yang bakalan panik dan mencarinya. Ia hanya ingin menghabiskan banyak waktu di luar rumah, lalu kembali pulang dalam keadaan lelah dan langsung tertidur.
Di tepian bongkahan karang, Tiara berhenti dan duduk pada salah satu bagian akar pohon yang tumbuh tak jauh di situ. Ia mengarahkan pandangannya ke tengah lautan luas. Wajahnya terlihat sedikit pucat, sepertinya ia sedang sakit.
"Kak Venz, tolong carikan aku kost, ya," ucap Tiara tiba-tiba.
"Buat siapa? Teman kuliah kamu, ya?!" aku balik bertanya.
"Buat aku. Sudah tidak tahan di rumah. Tak punya siapa-siapa lagi, lebih baik bagiku jika tidak tinggal di rumah yang seperti neraka," ujar Tiara sambil menundukkan kepalanya.
"Ra, kamu yakin mau ngekost? Apa itu bukannya memperparah keadaan?" Aku masih mempertanyakan keinginan Tiara.
"Aku sudah tidak tahan, Kak. Tak ada lagi yang peduli, Mama sama Manda sama sekali tidak membantu," ucap Tiara lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilarang Jatuh Cinta! 2
RomanceWARNING!! BERISI KONTEN SENSITIF, DIHARAPKAN TIDAK TERBAWA OLEH EMOSI YANG BERLEBIHAN KETIKA MEMBACA BAGIAN YANG MENYEBABKAN GEJOLAK EMOSIONAL. . . "Hanya ada dua pilihan ketika menjalani cinta beda keyakinan, ganti Tuhan atau ganti pacar. Sesungguh...