"Assalamu'alaikum..."
Salam seseorang yang riang terdengar hingga pojok kelas 9A. Kak Riska yang mendengar itupun jadi menoleh kearah suara, melihat Zahra berdiri didepan pintu sambil tersenyum. Kak Riska membalas senyumannya. Lalu menjawab,
"Wa'alaikumsalam, Dek." Kata Kak Riska.
Zahra yang mendengar jawaban itu jadi heboh sendiri. Bagi Zahra dipanggil 'dek' adalah suatu rezeki. Karena Zahra tak memiliki kakak. Tapi Kak Riska? Dia dengan senang hati menganggap Zahra sebagai adiknya sendiri. Padahal Kak Riska memiliki 2 adik kandung. Tapi Kak Riska tetap menganggap Zahra benar-benar adiknya.
"Kakak..." Kata Zahra sambil berjalan menuju meja Kak Riska. Kak Riska lalu menutup novelnya sambil tersenyum.
"Dalem.." kata Kak Riska seraya menutup novelnya. Zahra segera mempercepat langkahnya dan menahan tangan kakaknya itu agar tidak menutup novelnya. Rasanya Zahra tak enak bila menunda aksi baca novel kakaknya itu.
"Ga papa. Jadi mau cerita apa?" Tanya Kak Riska. Zahra masih ragu untuk bercerita sekarang. Zahra masih memanfaatkan keadaan.
"Udah, kakak baca aja. Aku ceritanya besok-besok aja." Kata Zahra sambil menampilkan cengiran khas dirinya.
"Ihh.. ya ga boleh. Kan kemarin udah bilang mau cerita, Dek." Kata Kak Riska.
"Emmmm.." Zahra tak bisa menjawab.
"Udah, cepat sini." Kata Kak Riska menyuruh Zahra duduk mendekat dengannya.
Kelas 9A tak bisa dibilang ramai. Kini kelasnya terdapat kurang lebih ada 8 orang kelas 9A.
Zahra menghelas nafas. Lalu menatap kakaknya itu. Berharap ini akan berjalan lancar. Zahra takut jika Zahra tak kuat bercerita.
"Aku lagi ga bisa nangis, Kak." Kata Zahra.
"Lha? Kok nangis sih? Emang kenapa?" Tanya Kak Riska.
"Ini tentang kisah hidupku kak." Jawab Zahra. Kak Riska hanya menatap adiknya ini dengan tatapan aneh.
"Tapi aku ga tau cara ngomongnya, Kak." Kata Zahra.
"Coba pikirin kata-katanya dulu." Kata Kak Riska. Zahra menghelas nafas. Dia benar-benar tidak tahu harus mulai dari mana, harus berbicara seperti apa.
"Kakak tahu?" Tanya Zahra, lalu berhenti sebentar. Lalu kembali melanjutkan kata-katanya, "Bunda aku itu pergi ke luar negeri dari aku kelas 3 SD, Kak. Sampai sekarang Bunda ga pernah pulang. Bahkan," belum selesai berkata-kata, Zahra menahan tangisnya. "Bahkan, Aku ga tau kabar dia kak. Sampai saat ini." Kata Zahra sambil menangis.
Kak Riska yang mendengarnya tak tahu harus apa. Kak Riska telah menyediakan pundaknya untuk menjadi senderan adiknya itu.
"Kenapa keluar negeri?" Tanya Kak Riska. Sebenarnya rasa ingin tahu dari diri Kak Riska juga besar.
"Kerja.." jawab Zahra dengan masih menangis.
"Ya kan Bundanya dedek kerja. Itu juga buat dedek kan? Jangan sedih donk. Mungkin Bundanya dedek sibuk jadinya ga bisa kasih kabar ke Dedek." Kata Kak Riska.
"Enggak, kak. Ini beda ceritanya..." Kata Zahra frustasi. Ini bukan cerita seperti novel-novel yang isinya tokoh sang ibu atau ayahnya pergi bekerja di luar negeri karena bekerja untuk biaya hidup anaknya. Ini berbeda.
"Terus gimana?" Tanya Kak Riska cemas melihat tangis Zahra menderas. Sesekali anak kelas bertanya 'dia kenapa?' maksud 'dia' disitu adalah Zahra. Tapi Kak Riska hanya menjawab dengan gelengan.
"Bunda bekerja bukan untukku. Bunda bekerja untuk dirinya sendiri. Bahkan sampai kini Bunda tak pernah mengirim apapun dari sana. Ada 1. Itu dulu, saat aku kelas 4 SD. Bunda memberiku tas, crayon, dan coklat. Dan setelah itu tak pernah lagi. Dan.." Jeda sebentar dari Zahra. Dia benar-benar bingung harus berbicara seperti apa. Zahra mengela nafas lalu berkata, "Gimana perasaan kakak kalau orang tua kakak masuk penjara?" Tanya Zahra. Dia tak tau harus berbicara seperti apa. Jadi dia ubah menjadi pertanyaan. Kak Riska yang peka jadi mengerti arti pertanyaan itu. Dia mendelik tak percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titip Rindu Untuk Bunda
SpiritualKu titipkan rasa rindu ini. Untuk dia, wanita yang telah melahirkanku. Untuk dia, wanita yang telah menyayangiku. Untuk dia, sosok wanita yang sangat ku rindukan.