Bab 29 Pandu dan Karya Seni Terindah Mengerikan

27 2 0
                                    

      

       “Aku akan mati dalam beberapa hari dari sekarang,” ucap adik kecilku, Manis Kemuning, ketika dia menikmati secangkir teh di teras rumah.

       “Hm?” Aku mengerang bukan karena aku tidak mengerti, tapi karena aku tidak bisa menangkap maknanya.

      Lagipula, ia tidak akan membicarakan tentang kematiannya seperti sedang membicarakan cuaca esok hari.

      “Seperti yang aku bilang, aku akan mati dalam beberapa hari lagi.”

      Aku mencoba untuk membaca arti kiasan dalam kata-katanya, tapi setidaknya untuk saat ini tidak ada penjelasan yang masuk akal mengapa ia tiba-tiba mengatakan hal ini.

     “Mati?” Aku bertanya.

     “Ya.”

     “Kamu?”

    “Ya.”

     “Bercandamu―” Garing. Namun, Kemuning tidak terlihat sedang menceritakan sebuah lelucon.

     “... Apa kamu serius?”

     “Aku serius,” ia menegaskan tanpa ragu-ragu.

     “Baik―”

       Apa masalahnya?
Apakah ia ingin menggangguku dengan omong kosong ini?
Kemuning...?
Tidak, ia tidak akan melakukan itu. Apa yang ia katakan pastilah sebuah kebenaran.

       Kemuning akan mati, kalau itu benar, itu akan membuatku khawatir. Namun, aku tidak tahu pendapat orang lain, tapi setidaknya aku tidak bisa mempercayai mentah-mentah hanya karena ia memprediksi hal itu.

       “Kamu... Kamu tidak punya penyakit mematikan yang tak bisa disembuhkan, kan? Haha... “

      “Tidak, aku tidak punya penyakit.”

      “Baiklah, mari kita sisihkan sejenak mengenai benar atau tidaknya kamu akan mati. Kenapa kamu mengatakan hal ini?”

      “Karena itu adalah kenyataannya dan kamu termasuk keluargaku, Pandu.”

     “Ha!” Aku mencibir.

     Keluarga?

       Kemuning dengan acuh tak acuh memanggilku ‘Pandu’ daripada menggunakan julukan yang lumrah bagi saudara, seperti Kak, Bang, atau Mas. Aku yakin ia tak berniat buruk sama sekali, tapi aku tidak bisa menghilangkan perasaan buruk ini, aku merasa ia sedang mencoba menyangkal hubungan darah kami.

      Ya, mungkin hanya aku satu-satunya yang berpikir begitu.

      Keluarga?
Aku tidak tahu tentang dia, tapi setidaknya aku tidak pernah menganggap ia bagian dari keluargaku. Bagiku―ia bukanlah keluarga―bukan anggota keluarga kami, tetapi sebuah karya seni.

      “Maaf, apakah aku mengatakan sesuatu yang aneh?”

     “Tidak,” balasku.

      Meskipun membicarakan kematiannya sendiri, Kemuning memberiku senyuman. Ya, ia tersenyum―dan itu hukuman bagi kami karena telah memperlakukannya seperti sebuah karya seni.

      Aku tidak ingat kapan tepatnya, saat Kemuning berusia sekitar sepuluh tahun, ia kehilangan semua sisi emosionalnya. Paling tidak, aku tidak bisa lagi mengamati gejolak emosi dalam dirinya. Satu-satunya hal yang akan ia tampilkan―terlepas dari situasi apa pun―adalah senyuman.

       Ada satu hal yang selalu terpikir di benakku saat melihatnya:

      ―Kita tidak boleh mengganggu senyumnya.

Bunuh DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang