Sepanjang jalan, ingatannya bergulir. Dulu pernah sempat, emosi Vey sememuncak ini. Hari perpisahannya saat smp dulu, hari dimana dia tahu, selain papa tidak ada lagi yang peduli padanya. Semenjak ada Tania semua hal direbutnya. Vey, bodoh. Tania, pintar. Vey, pendek. Tania, tinggi. Menyadari itu saja nafas Vey sudah menderu panjang.
Kakinya kini terhenti, mendudukkan tubuhnya pada ayunan disebuah Taman. Runyam. Ia sangat ingat saat itu, semua teman-temannya memangku bunga, tersenyum ceria, berfoto bersama keluarga. Sementara Vey terduduk disamping aula tanpa siapapun disampingnya. Cairan bening dimatanya kembali menghangat setelah berjatuhan pada acara pelepasan tadi. Vey tidak mau sekuntum bunga. Dia juga tidak semaniak orang lain untuk berfoto. Dia ingin seseorang menemaninya saat ini, keluarga itulah yang dia butuhkan.
Bibir Vey saat itu ikut bergetar, dia melirik TV yang terpampang di tata usaha saat itu. Tubuhnya mendekat ke jendela, agar dia dapat melihat ke dalam ruangan itu. Disana, adiknya yang membanggakan kembali menjuarai olimpiade sains tingkat smp. Airmata Vey terjatuh. Dia tidak tertarik dengan sains seperti Tania, bahkan nilai kelulusannya pun tidak semulus anak-anak yang masuk sepuluh besar dikelasnya.
Terik menyinarinya dengan setia. Siapa sangka, sampai harus ibu Rendi yang mengambilkan hasil kelulusannya. Melihat langkah lemas seorang Veyla, Rendi merangkul.
"Kenapa?"
Vey hanya menggeleng, kalo satu kata saja keluar dari mulutnya. Airmatanya tidak akan bisa ia hentikan untuk terjatuh. Yang dilakukannya hanya mengatur nafas, menatap ke atas agar bulir hangat itu menguap.
Rendi tersenyum, lalu diajaknya gadis itu ke sebuah Taman yang mulai sepi. Di arahkannya Vey untuk duduk disebuah ayunan. Vey menurut. Rendi menarik ayunan itu ke belakang, "kalo ayunan ini maju ke ketinggian, teriak aja, terus nangis!" celotehnya dengan mengulum senyum.
"Nantinya?"
"Lepas ke udara!" jawab Rendi seraya menarik ayunannya, hingga terbang.
"AAAAAAAAAAA!!" dan mulailah terdengar suara, teriakan, yang berlawanan dengan arah angin.
Airmataku tumpah, ungkap gadis itu dalam hati. Ayunan itu semakin tinggi. Semakin kuat juga dia menggenggam kedua rantai besi itu, sekuat teriakannya yang memekikkan telinga.
Kembali lagi pada masa kini. Masa dimana tak ada Rendi disampingnya. Malam sunyi yang hanya menyediakan bunyi jangkrik itu. Membuat Vey melangkah ke belakang, lalu ia naik ke ketinggian mengayunkan ayunan.
Tidak terdengar teriakkan lagi.
Namun berubah menjadi suara tangis yang dibiarkan lepas begitu saja.
Dia tidak bisa bercerita, karena hanya benda mati yang ada disekelilingnya.
Kenapa? Ayunan tidak mengayun ke ketinggian lagi sekarang. Suara cegukkannya mengalahkan suara jangkrik. Kakinya pun sudah berhenti menginjak tanah. Sekarang mulai terasa ada lipatan dibawah matanya.
"Balik, gih!" suara berat membuat kepala Vey memutar refleks.
Kini dilihatnya, cowok yang menjadikannya artis mading belakangan ini. Untuk apa dia datang, buat ngeliat Vey nangis?
Vey berbalik tanpa peduli. Dia kan sudah menyerah dengan double date bodohnya itu.
"Cih," decak Arga duduk diayunan sebelahnya.
"Ngapain disini?" tanya Vey cuek.
Arga melirik sekilas, lalu kembali melemparkan pandangannya ke depan.
"Seneng yah, ngeliat gue nangis?" nafas Vey sedikit menggebu kembali.
"Kalo iyah?" kedua bola mata mereka bertatap.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prince Ice And I
Roman pour AdolescentsCerita tentang penyesalan, rahasia, ketertarikan, dan pandangan tentang cinta. ______________________________ Arga Irawan seorang senior cakep juga menawan. Merupakan the most wanted sekolah, yang sulit diincar. Dengan julukan "Prince Charming "...