aku terdiam. menatap tanganku sendiri, tepat dimana ricci menggenggamnya ketika menghentikanku menuang minuman beralkohol lagi. itu terasa terjadi begitu cepat, namun seolah tangan ricci meninggalkan bekas disana."kau baik saja? maaf, atas apa yang kulakukan barusan, aku mengerti kau tak nyaman." ia akhirnya angkat bicara. suaranya merendah, dan sendu. aku masih mampu mendengarnya dengan jelas diantara lantunan musik-musik disko yang memekakkan telinga. ada suatu penyesalan yang nyata dalam kalimatnya. aku menyaksikan ia menundukkan kepalanya saat mengucap maaf, seperti benar-benar merasa bersalah atas tingkahnya sendiri. namun, tidak. apa yang dia katakan, aku bukannya tidak merasa nyaman, atau mungkin ya, aku merasa sedikit terkejut. tapi bukan tidak nyaman. entahlah, aku sulit menemukan kata yang tepat untuk mengekspresikan rasa ketika tangannya menyentuh tanganku. lebih tepatnya, rasa ketika tangan orang asing menyentuh tanganku. namun, ia melakukan itu untukku juga. pria ini baik. ia ingin menolong. ia bukan berniat mencelakakan, atau menyakitiku. aku cukup yakin akan hal itu.
maka aku memberanikan diri mengangkat kepalaku, menatap wajahnya, menarik nafas, dan
"thankyou."
satu detik.
dua detik.
tiga detik.
tak ada respon apapun. ia hanya menatap mataku dengan bibir yang terkatup.
"for stopping me.."
aku menyelesaikan kalimatku. rupanya butuh sepersekian detik baginya untuk mencerna apa yang aku katakan. ricci tersenyum kecil, hanya untuk waktu yang singkat. segera setelah itu, ia kembali menundukkan kepalanya, melipat tangannya persis seperti cara umat kristiani berdoa, namun ia menggesek-gesekkan ibu jarinya dengan perlahan. ia mengangkat kepalanya lagi, menatap lurus kearah depan, yang samasekali tidak ku tau kemana kedua matanya berlabuh. dan ia menoleh lagi, kepadaku. dengan wajah yang lebih serius dari sebelumnya, aku hampir tertawa mendapati betapa seriusnya wajah yang ia pasang disana, namun aku menahan tawa itu. ini bukan waktu yang tepat untuk tertawa. aku hanya membalas tatapannya, menunggunya mengeluarkan suara,
"do you.. trust me?
aku benar-benar terkejut kali ini. mendengar pertanyaan macam itu, aku perlu memikirkannya matang-matang. ricci seolah membaca apa yang ada dalam pikiranku. mungkin dan hanya mungkin, ia tak ingin membiarkan aku becerita padanya apabila aku sendiri tak mempercayainya. tentu saja hal itu akan membuatku tak berkata jujur, atau menambah-nambahkan, atau mengurang-ngurangi ceritaku. aku mengerti. aku mengerti sekarang, bagaimana ia menginginkanku untuk menghapus segala kemungkinan-kemungkinan buruk yang tergambar dipikiranku tentangnya. tapi, apakah aku akan melakukannya? apakah aku akan mampu menanggung segala resikonya? bagaimana jika ia bukan sosok yang kupikirkan? bagaimana jika ia hanya berpura-pura baik sehingga dapat dengan mudah menjalankan rencana jahatnya?
"luna, do you trust me?"
tatapannya melembut. ku temukan bayangan diriku sendiri memantul di matanya. jika hal buruk menimpaku lagi malam ini, biarlah itu terjadi, anggap saja itu memperlengkap penderitaanku yang memang sudah ada sejak sebelumnya. jika bepergian bersama orang asing adalah hal yang pantang untuk dilakukan, well then, rules are made for breaking.
"i do.."
ricci tersenyum, lagi.
"kau tahu, tempat bising seperti ini tidak bisa kita jadikan tempat untuk berbagi cerita,"
berbagi cerita? ku kira hanya aku yang akan bercerita.
"baiklah. tapi aku tidak tahu apa-apa tentang kota ini dan aku tak memiliki kendaraan apapun untuk mengantar kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
all i know•
Short Storytragedi. kekecewaan, kepedihan, kesesakkan. ketiganya tersirat dibenak siapapun ketika mendengar kata tragedi. tragedi. kisah romeo dan juliet karya shakespeare. ketika romeo bunuh diri sesaat setelah mengira juliet telah meninggal, dan juliet mal...