2. Tuan dari Sang Hati

13.8K 1K 13
                                    

"Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati."
(QS. Al-Hadid 57: Ayat 6)

Allah tahu apa yang tersembunyi dalam hati seorang manusia. Allah tahu semuanya, bahkan jika engkau dengan begitu menyangka tak ada yang mengetahui. Janganlah sampai hatimu itu terkoyak hanya karena seorang makhluk Allah. Allah tahu mana yang terbaik, dan hindarilah hatimu dari makhluk yang bisa membuat cinta mu pada Allah akan tergantikan. Allah akan senang jika seorang hamba-Nya menyimpan kebaikan dalam hatinya, namun Allah tidak akan suka saat hamba-Nya menyimpan keburukan dalam hatinya.

Walau makhluk itu telah mengakar erat di hatimu, namun tetap ingatlah pada Allah yang sudah sejak dulu mengakar hebat di hatimu. Sambungkanlah akar itu, maka hatimu akan suci saat engkau sudah melibatkan Allah dalam hatimu. Libatkanlah Allah, karena Allah adalah pemilik dari Sang Hati.

Rania mendorong dua koper menuju kamar bernomor 156. Rania menengok pada Asfa yang sedang bermain dengan Nafisya. Mereka sudah sampai di Madinah sejak jam 4 pagi. Setelah sampai, mereka pergi ke masjid Nabawi dan melaksanakan shalat subuh di sana. Lalu, mereka pergi ke apartemen yang sudah dibeli Irfan di Madinah.

Sedangkan Rumi dan Irfan berada di rumah Umi dan Abinya yang berada di Al-Jumu'ah, Madinah.

"Mbak, kita udah sampai. Mana kuncinya?" pinta Rania menengadahkan tangannya.

Asfa menatap Rania. "Kamu beneran mau sekamar sama mbak? Bukannya mas kamu udah nyiapin apartemen?"

Rania tersenyum. "Enggak ah, mbak. Lagian Rania sendiri, enggak kaya mbak Anel yang se-apartemen sama kakaknya, mas Guntur.  Rania kan enggak punya saudara lagi selain mbak Rumi. Dari pada Rania sendiri lebih baik nemenin mbak Asfa, aku juga kan sama Nafis udah akrab, mbak. Aku pengin jagain Nafis."

Asfa tersenyum dan mengangguk. "Ya udah kalau begitu, kita tinggal berdua ya."

Asfa memberi kuncinya pada Rania, lalu ia pun membuka pintu apartemen itu. Mereka masuk, dan melihat ruangan megah yang ada di depan mata mereka. Tidak sia-sia Irfan membayar apartemen itu dengan harga mahal, ternyata isinya cukup menjamin. Satu apartemen dengan dua kamar, tiga kamar mandi, satu ruangan tamu, dapur, teras, perpustakaan kecil, dan ruangan kecil.

"Mbak, aku bawa koper Nafis ya kamar mbak. "

"Iya, Ran."

Asfa melihat Rania memasuki kamarnya. Asfa duduk di sofa, lalu membuka gendongan Nafisya. Bayi berumur 10 bulan itu sibuk memainkan mainan berbunyinya. Walau Nafisya baru tumbuh beberapa gigi, ia terlihat begitu lucu. Asfa bahagia, ia sangat bersyukur ketika Nafisya begitu mirip dengan almarhum suaminya, Nazmal. Senyuman Nafisya dan matanya sangat begitu mirip dengan Nazmal. Ya Allah, engkau begitu baik hingga memberikan pengganti dari sang makhluk itu menjadi makhluk yang sangat mirip dengan makhluk itu.

"Ib-bu," seru Nafisya dengan tiba-tiba.

Asfa tersenyum bahagia. "Kenapa sayang." Ia mencium pipi Nafisya.

Nafisya tertawa. "Ib-bu."

"Iiiiii Nafis lucu banget, mbak," seru Rania gemas. Ia baru kembali dari kamar Asfa.

Ia mencubit pipi Nafis pelan, lalu mengambil koper Asfa hendak membereskannya.

Asfa tersenyum. "Ran, kamu ngeberesin barang-barang kamu aja. Kasian kamu, dari tadi bawa bawaan berat dari bawah apartemen. Biar mbak aja yang beresin barang mbak."

"Enggak usah sungkan, mbak. Lagian tangan Rania juga lagi gatal pengin ngelakuin apapun. Jadi, enggak apa-apa ya kalau Rania beresin barang mbak Asfa?" sahut Rania.

Asfa menghembuskan nafasnya. Menurut Rumi, Rania memang mempunyai watak sedikit keras. Ia akan melakukan apapun agar keinginannnya tercapai. Jadi lebih baik Asfa mengalah saja, toh jika Rania ikhlas melakukan ini pun Asfa tidak masalah.

"Ya udah iya, Ran. Mbak izinin kok."

"Akhirnya," ucap Rania bernafas lega.

Saat Rania akan menarik koper, Asfa menghentikannya. "Ehh, Ran, bentar dulu," sergahnya.

Rania menoleh. "Kenapa, mbak?"

"Mbak mau ngambil bingkai foto."

"Di mana mbak?"

"Itu di koper, deket buku sirah," ucap Asfa sambil menunjuk.

Rania membuka koper itu. Ia mencoba mencari bingkai. Akhirnya, Rania menemukan bingkai itu. Rania diam, lalu menatap Asfa.

Asfa tersenyum. "Itu almarhum suami mbak, kenapa? Ganteng ya? Liat deh fotonya, mbaknya cemberut, nyesel deh mbak pose kaya gitu."

Rania menatap fotonya lagi. Ia merasa ikut sakit di dalam hatinya. Ia mulai mengerti perasaan Asfa seperti apa, dan itu terasa perih jika diingat kembali. Rania baru mengenal Asfa semenjak kehilangan suaminya. Rania merasa simpati pada temen kakaknya itu. Umurnya baru 23 dan sudah menjadi janda beranak satu. Belum lagi anaknya masih bayi dan butuh ayoman seorang ayah.

Beginilah takdir, Allah sudah menetapkan sesuatu dan tidak bisa diubah lagi. Sebagai seorang hamba kita hanya bisa menjalani dan terus beribadah kepada-Nya. Dunia tidak selalu mulus. Dunia hanyalah sebuah tempat tinggal yang punya banyak lika-liku kehidupan.

Asfa memegang pundak Rania, lalu tersenyum. "Mbak tidak sesedih  seperti dulu lagi, Ran. Walaupun memang mbak sering kali merindukannya, namun mbak sudah ikhlas. Mas Nazmal pernah bilang 'jangan sedih, kuatlah, kamu masih punya Allah, Fa.' Mbak selalu ingat kata-kata itu saat mbak merindukannya. Karena mbak yakin, mas Nazmal pasti akan bahagia jika mbak baik-baik saja."

Rania menatap Asfa dengan sedih. Rania tak mengerti kenapa ia jadi sedih saat mendengar tutur kata Asfa yang begitu tabah dan sabar. Tak menyangka air mata jatuh di pelupuk mata Rania. Ia begitu sedih melihat perjalanan hidup Asfa. Ia juga tahu jikalau keluarga Asfa semuanya meninggal, belum lagi suaminya meninggal dalam waktu dekat itu.

"Kamu kenapa nangis, Ran?" tanya Asfa panik.

"Mbakk," seru Rania sontak langsung memeluk Asfa.

"Rania?" tanya Asga bingung.

"Mbak, R-rania pengen punya hati kaya mbak Asfa, bisa tabah dan ikhlas. Rania tau itu sulit, mbak. Saat Rania tau cerita tentang mbak Asfa, Rania begitu simpati sama mbak. Rania kagum sama mbak. Rania tau kalau itu terasa perih. Rania tau kalau itu sangat menyakitkan. Tapi, apa yang dilakukan mbak Asfa? Mbak cuman senyum seakan-akan enggak terjadi apa-apa. Sebenernya, hati mbak terbuat dari apa?"

Asfa tersenyum begitu perih. Apa yang dikatakan Rania tidak sepenuhnya benar. Asfa pun punya hati, Asfa pun bisa meluapkan semuanya. Namun, apa daya? Ia tak bisa melakukan apa-apa. Wajah itu, jahat. Wajah itu seakan-akan memberinya peringatan agar ia jangan bersedih. Wajah itu menyebabkan ia bisa setegar ini. Wajah itu, Nafisya. Buah hatinya yang begitu lugu dan polos. Ia tak bisa memberikan kesedihan pada anaknya.  Ia hanya ingin memberitahu anaknya bahwa kini ia bahagia, ia bisa tegar, dan ia bisa ikhlas. Asfa ingin menjadi ayah serta ibu dari Nafisya.

Bersambung.....

Bogor, 5 Rabiul Akhir 1439 H
  
  

Izinkan Aku Memilikimu 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang