Sesuai permintaan Abi, aku sudah mengirim pesan pada Sofia, tapi belum ada balasan darinya. Aku menanyakan padanya tentang perjodohan ini. Sekarang aku sedang dalam perjalanan menuju Bandung. Aku pun sudah musyawarah dengan abang-abangku perihal perjodohanku dengan Sofia. Mereka bahagia ketika mendengar aku akan segera menikah dengan Sofia, tapi aku meminta pada mereka agar tidak memberitahu orang lain terlebih dahulu sampai hari yang di kutentukan. Aku ingin mendapat kejelasan dari Sofia langsung mengenai perjodohan ini.
Aku menepuk dahi ketika mengingat sesuatu. Hari ini pernikahan Zainab, putri Abah Bahar. Aku sampai lupa dengan undangan pernikahan Zainab dan Zainal. Apa aku langsung ke sana sebelum ke pondok? Ya. Lebih baik aku langsung ke tempat Abah Bahar supaya tidak bolak balik. Aku pun melajukan mobil yang kukendarai menuju rumah Abah Bahar.
Sekitar 1 jam dari Bandung kota, aku tiba di tempat yang tak jauh dari rumah Abah Bahar. Terlihat sepi seperti tidak ada acara pernikahan. Aku segera turun dari mobil. Kulihat dari arah kejauhan, rumahnya memang sepi dan pintunya pun tertutup, tapi tenda sudah dipasang. Acaranya sudah selesai, atau aku yang lupa hari acaranya. Aku rasa tidak. Aku menatap Ponsel dan harinya pun persis saat ini. Aku pun berjalan menuju rumah Abah. Kuketuk pintu rumah Abah dan tak lupa salam kuucapkan, "Assalamu'alaikum."
Hening. Aku menoleh ke kanan dan kiri. Sepi. Aku kembali mengetuk pintu rumah Abah disertai salam.
"Wa alaikumussalam." Terdengar seseorang menjawab salamku dari arah lain.
Aku segera menoleh ke sumber suara. Dia menghampiriku.
"Cari siapa, Kang?" tanya seorang laki-laki sekitar berumur di atasku.
"Bukannya hari ini Zainab menikah? Apa acaranya sudah selesai?" tanyaku pada laki-laki itu.
"Iya. Harusnya teh hari ini Neng Zainab menikah, tapi Zainab tidak jadi menikah. Calon suaminya teh kecelakaan dan meninggal," jelasnya dengan nada khas Sunda.
Tidak jadi menikah? Calon suami Zainab kecelakaan?
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un," lirihku masih tak percaya.
"Abah Bahar sekarang di rumah sakit. Zainab teh dirawat karena penyakitnya kambuh." Laki-laki itu menambahi.
Ya Allah, kenapa ujian Abah Bahar seberat ini? Semoga keluarga beliau sabar menghadapi ujian ini.
"Kalau begitu, saya teh pamit, Kang." Orang itu pun berlalu dari hadapanku.
"Kang ..." panggilku pada orang itu sebelum dia memasuki tikungan.
Orang itu menoleh. "Iya, Kang?" Dia menatapku.
"Kalau boleh tau, Zainab dirawah di mana yah?" tanyaku padanya.
"Di Rumah Sakit Harapan Mulya, Kang." Dia membalas.
Aku mengangguk. "Terima kasih, Kang."
"Sama-sama." Orang itu pun berlalu pergi setelah membalasku.
Aku masih tak percaya dengan semua ini. Zainal kecelakaan dan meninggal di saat dia akan menikah? Bagaimana perasaan orang tuanya? Orang tua Zainab? Dan perasaan Zainab? Ya Allah, semoga Engkau memberikan jalan terbaik untuk masalah ini.
Aku berjalan setengah berlari menuju mobil. Aku masuk ke dalam mobil, lalu melajukan mobilku menuju rumah sakit. Rasa tak percaya masih terngiang di pikiranku. Aku segera turun dari mobil ketika tiba di rumah sakit tempat Zainab dirawat. Semoga dia baik-baik saja dan tabah menghadapi ujian ini.
Aku pun bertanya pada bagian resepsionis untuk menanyakan ruang rawat Zainab. Suster itu menunjukkan jika Zainab dirawat di ruangan UGD. Aku bergegas menuju ruangan itu. Aku tiba di depan ruangan UGD, lalu memasuki ruangan itu. Kulihat hanya ada Bu Ratih yang menunggui Zainab di ruangan UGD. Ruangan pun terlihat sepi dan hanya ada bunyi alat-alat medis yang menggema di ruangan ini. Pandanganku langsung tertuju pada wanita yang terbaring di atas ranjang. Kali ini tak ada hijab di wajahnya. Matanya tertutup rapat dan wajahnya terlihat pucat. Astagfirullahal'adzim. Aku memalingkan ke arah lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahar Surah An-Nisa
RandomAku mengaguminya sejak pertemuan kita yang pertama. Bayang-bayang matanya selalu hadir dalam pikiranku, mengganggu konsentrasiku dalam segala. Aku takut bayangan matanya akan semakin menjadi dosa jariyah yang mengalir pada diriku dan dirinya. Dan pa...