#jof_kemal
Melakukan suatu pekerjaan berdasarkan hobi memang terasa lebih mudah. Sesulit apapun, selelah apapun pekerjaan itu, biasanya perasaan hati akan selalu terbawa baik. Karena orang tersebut melakukan pekerjaannya dengan hati yang senang, tanpa menyisipkan beban dalam pekerjaannya. Seperti halnya Janee yang menggeluti pekerjaan sesuai dengan hobinya. Berawal dari hobi memasak yang akhirnya membawa Janee menggapai impian semasa sekolahnya, membuka tempat makan sendiri.
Do what you love, love what you do.
Kalimat itu selalu menjadi penyemangat Janee dan selalu tertanam di pikiran Janee, agar ia dapat melakukan pekerjaannya dengan perasaan senang, ikhlas, tanpa membuatnya menjadi beban. Menurut Janee, sekalipun kita melakukan pekerjaan yang tidak kita sukai, tidak apa-apa. Asalkan buatlah pekerjaan itu menjadi menyenangkan. Hidup sudah cukup sulit untuk berkeluh kesah akan hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Jadi, selama masih bisa mencoba menikmati apa yang kita kerjakan, kenapa tidak?
Janee tidak mengelola tempat makannya seorang diri, ia bekerja sama dengan salah satu kakak tingkat semasa kuliahnya. Suci, yang notabene pernah memiliki pengalaman membuka tempat makan seperti ini, namun sayangnya memang terhenti di tengah jalan karena beberapa hal. Tapi terlepas dari itu, Janee berpikir setidaknya pengalaman Suci bisa dipakai untuk menjalankan tempat barunya dengan Janee kali ini.
Dicha.
Itulah nama yang Janee dan Suci putuskan untuk dijadikan nama tempat makan mereka. Dicha yang memiliki arti kebahagiaan dalam bahasa Spanyol sengaja keduanya pilih karena mereka memiliki filosofinya tersendiri. Katanya, karena menyantap suatu hidangan itu adalah sebuah kebahagiaan, kebahagiaan yang sederhana. Jadi, keduanya berharap Dicha dapat menjadi tempat di mana orang-orang mendapatkan kebahagiaannya.
Keduanya saling membagi tugas, Suci lebih ke mengatur segala urusan dapur, sedangkan Janee mengatur ke masalah marketing, keuangan, dan sejenisnya. Tapi bukan berarti keduanya lepas tangan begitu saja pada pekerjaan yang bukan menjadi tanggung jawabnya, toh practically keduanya melakukan semua pekerjaan bersama. Keduanya saling mengisi satu sama lain, saling membantu satu sama lain. Bekerja menggunakan dua tangan lebih mudah dibandingkan menggunakan satu tangan, bukan?
Janee duduk di kursi pelanggan, memanfaatkan Dicha yang sedang sepi pelanggan untuk sekedar beristirahat. Untuk sekedar menghubungi kekasihnya, melepas rasa rindu meski hanya obrolan singkat lewat telepon.
“Dicha gimana hari ini, yang?”
“Lumayan sih rame, tapi ini lagi sepi jadi aku bisa ngehubungin kamu.”
“Yang, gak tertarik buat bantu aku di sini? Kan di sini kamu bisa bikin tempat makan kayak Dicha.”
“Terus kalau aku ke Bali, yang bantuin teh Suci siapa?”
“Kan ada pegawai kamu yang lain. Temen kamu yang belum dapet kerja juga masih banyak kan?”
“Bukannya aku gak mau deket sama kamu, tapi aku lagi pengen di Bandung, yang.”
Kemal mengerucutkan bibirnya, Janee seakan merasakan kekecewaan yang dirasakan Kemal. Karena sebetulnya Janee pun sama tidak ingin berada jauh dari Kemal. Tapi Janee lebih tidak ingin berada jauh dari ibunya yang belakangan ini sering sakit-sakitan.
“Teh, ada yang mau pesen nasi box.” Seorang pegawai Janee memotong percakapan Janee dan Kemal.
“Oh, iya, bentar. Udah dulu ya, nanti aku telfon lagi.” Janee memutus sambungan teleponnya dengan Kemal untuk melanjutkan kembali pekerjaannya.
Pegawai tersebut memperkenalkan Janee pada seorang laki-laki yang katanya ingin memesan nasi box dari Dicha. Laki-laki tersebut terlihat kaget dan tidak percaya saat pegawai Janee memperkenalkan Janee sebagai owner Dicha. Sebelumnya laki-laki itu mengira Janee hanya pelanggan Dicha, sama sepertinya.
"Nasi box untuk hari apa, kang?"
"Untuk besok, teh. Bisa?”
“Insyaa Allah bisa, kang.”
“Teteh yang punya tempat ini?"
Janee sedikit memberikan cengirannya, "Hehe. Iya, sama temen saya sih, kang."
"Wah, hebat, padahal tetehnya masih muda,"
"Ah, enggak, kang. Gak sehebat yang akang pikirin.”
Saat keduanya tengah berbincang seputar nasi box yang dipesan oleh laki-laki tadi, tiba-tiba sebuah suara menginterupsi perbincangan mereka. “Kak Jani,” Ternyata itu Lani, Kallani Fasya, adiknya Janee. Saat Lani mengalihkan pandangannya pada orang yang ada di hadapan kakaknya, Lani mulai menyadari ia mengenali laki-laki tersebut.
"Loh, pak Azka? Siang, pak." Sapa Lani pada laki-laki yang ada di hadapan Janee itu.
Janee melirik ke arah Lani yang tengah menyalami Azka, Janee melihat adiknya itu dengan wajah yang bertanya-tanya. Pak? Oh, mungkin asisten dosennya Lani di kampus, pikir Janee.
Setelah selesai dengan urusannya, Azka mulai berpamitan pada Janee dan Lani, "Saya pamit dulu, ya, teh, besok saya ambil nasi boxnya. Saya duluan, ya, ng..” Azka menunjukkan jari telunjuknya sedikit mengarah pada Lani, terlihat seperti tengah mengingat-ngingat namanya.
“Lani, pak.”
“Oh, iya, Lani, saya pamit dulu, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam," Jawab kedua kakak dan adik itu bersamaan.
Janee mulai menginterogasi adiknya, "Dia asdos kamu?"
"Lebih dari sekedar asdos. Dia dosen utama aku."
"Dosen utama???"
Lani mengangguk-anggukkan kepalanya, mengiyakan pertanyaan kakaknya. Bingo! Agregat 1-1. Tadi, Janee boleh saja membuat Azka terkejut karena telah mengira Janee hanyalah pelanggan biasa. Tapi kini, giliran Janee yang dibuat terkejut oleh Azka. Bagaimana tidak, Azka masih terlihat sangat muda untuk disebut sebagai dosen utama. Janee memperkirakan umur Azka sama dengan Naufal, umurnya mungkin sekitar 24 tahunan.
Lani menyikut kakaknya yang tengah membereskan barang-barangnya yang ada di atas meja. “Kak, pak Azka ganteng, ya?”
“Iya, ganteng. Masa cantik.” Jawab Janee simple.
“Ih, kakak mah.”