"Aku terlalu egois menyadari takdir. Berharap menjadi satu-satunya gemintang yang menemani rembulan, tapi nyatanya aku keliru. Bukan hanya aku yang menemaninya, tapi juga jutaan bahkan milyaran bintang di galaksi ikut meramaikan malamnya. Lalu, pantaskah jika aku masih cemburu?"
-Pecah-
---
Malam ini, bulan kembali menampakkan dirinya secara sempurna. Tidak lagi separuh, tidak lagi hanya seperempat. Malam ini, bulan kembali ditemani oleh gemintang yang selalu setia menemaninya di tengah kepekatan malam. Tanpa gentar, tanpa takut. Hanya ada kesetiaan di dalamnya, yang menjadi pendorong utama untuk selalu menemani. Terkadang, Rajwa iri dengan gemintang yang selalu bisa menemani rembulan. Terkadang, Rajwa iri dengan kesetiaan gemintang yang terus menemani rembulan.
Dalam benaknya, mengapa dia tidak bisa seperti gemintang yang selalu bersama rembulannya? Padahal dia adalah manusia, makhluk ciptaan Allah yang disertai akal pikiran, makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Dia juga ingin bersama seseorang yang tidak pernah absen untuk dia lambungkan namanya di sepertiga malamnya.
Namun, kini semua tanya itu telah terjawab. Rajwa harusnya berpikir gamblang. Bukankah, bukan hanya satu bintang yang selalu menemani rembulan itu? Bukankah ada ribuan bahkan jutaan gemintang di galaksi yang selalu menemani rembulan di setiap malamnya? Mereka tidak hanya berdua. Lalu, mengapa dia mesti merasa tercurangi? Mungkin, jika diibaratkan dengan berjuta bintang di jagat raya, Rajwa hanyalah sebuah bintang dengan setitik cahayanya yang redup. Sehingga tidak pantas disandingkan dengan rembulan untuk bersama-sama mengarungi pekatnya malam.
Malam ini, dia tengah terduduk di kursi umum tempat menunggu kereta di jalur lima. Stasiun Tugu malam ini cukup ramai, meski mentari sudah beristirahat menyinari bumi. Mereka berbondong-bondong untuk mengucapkan kata perpisahan dan kata kedatangan yang manis. Ada yang pergi, ada pula yang datang. Datang dan pergi seolah sepaket kejutan yang tidak pernah dapat terduga. Seperti keputusannya kali ini, membiarkan Riyadh pergi dari hatinya meski tanpa kata-kata perpisahan yang manis karena datangnya pun tanpa berucap salam.
"Ra, ayo! Keretanya sudah sampai," tegur Maryam saat Rajwa hanya melamun.
Dengan mencangklong tas gendongnya, Rajwa mengekori langkah Maryam yang terlebih dahulu memasuki gerbong eksekutif kereta yang memiliki rute Surabaya-Gambir. Awalnya dia menolak saat Riyadh mengajaknya menaiki kelas eksekutif karena menurut Rajwa, sayang uangnya. Tapi begitulah Riyadh, tidak akan menyerah sebelum terpenuhi. Ya, perjalanan kali ini Riyadh yang menjadi sponsornya. Lelaki itu sendiri yang mau.
Di dalam gerbong satu itu, Riyadh sudah berdiri di kursi 9C sembari melambaikan tangannya ke arah Rajwa. Rajwa duduk tepat di depan Riyadh—kursi 8C, sedangkan Maryam duduk di sampingnya dengan nomor kursi 8D.
---
Dengan memantapkan hati, aku mulai menggiring kakiku untuk melangkah. Kususuri setiap anak tangga dengan tembok abstrak yang terasa asing untukku. Merabanya dengan lembut, dan merekamnya dalam memori.
Dalam perjalanan ini, berulang kali aku menerka takdir, bermain-main dengan skenario-Nya sungguh rumit. Pemikiranku sendiri terjebak dalam kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja keliru. Berulang kali pula, kucoba untuk membaca morse-morse alam. Berbelit dengan waktu dan menelisik langit. Mencoba untuk menyibak meganya, namun mendung selalu menghimpit.
Lagi-lagi aku gagal. Tidak kujumpai sirius pada pekatnya malam. Tidak kujumpai biasnya pada gelapnya awan, padahal sudah susah payah kudaki langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pecah
Spiritual[Update setiap hari Jumat] Kemungkinan terbesar dari mencintai adalah patah hati. Seperti halnya selalu ada substitusi setelah eliminasi. Maka begitulah dengan persoalan hati, selalu ada patah hati setelah adanya jatuh cinta. Patah hati menggiring l...