1. Whenever You Play That Song

15 1 1
                                    

I followed that song onto the street and walked
That familiar song that is playing from somewhere
I closed my eyes and blankly stood there and opened my ears
It was that song that we used to listen to together

Lelaki muda berusia sekitar pertengahan 20 tahun itu berjalan tergesa, lupa bahwa hari ini adalah hari yang telah ia nanti jauh hari sebelumnya dengan menyiapkan laporan presentasi yang akan ia sampaikan kepada beberapa rekan kerjanya. Menunggu bus dengan mengetukkan kaki di tanah beberapa kali tanpa suara, dan sebentar-sebentar melirik jam tangan yang telah menunjukkan angka 06.30. Berpikir sebentar apakah ia harus menunggu kedatangan bus yang baru akan tiba 5 menit lagi atau langsung berlari dan menyetop taksi di ujung jalan, akhirnya ia memilih opsi kedua. Lelaki itu berlari lagi, menerobos beberapa orang yang menghalangi jalannya tanpa peduli dengan segala gerutuan orang-orang yang telah ia tabrak.
Setelah ia menemukan langkah kendaraan kecil berpintu empat tersebut, dia menyetopnya dan berniat untuk memasuki kendaraan tersebut sampai kemudian dia mendengar suara musik dari arah kafe dekat ia menyetop taksi. Beberapa menit ia terdiam hingga suara sang supir mengintrupsi lamunan lelaki muda itu.
“Jadi naik tidak?” Serunya, antara jengkel dan gemas karena lelaki tersebut hanya mematung dengan tangan yang masih berada pada gagang pintu untuk membuka kendaraan.
Lelaki itu tergeragap, kemudian dengan gerakan tidak beraturan dia menggeleng, lalu mempersilakan kendaraan tersebut berjalan kembali untuk menemui penumpang baru. Setelahnya ia melangkah dengan keadaan sadar dan tidak sadar menuju arah kafe yang masih memutar alunan musik yang sama hingga ia sampai di dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela kaca paling pojok kafe.
Ketika pelayan kafe tersebut datang dan menanyakan apa yang akan ia pesan, ia hanya memesan matcha tea dengan satu kalimat permohonan yang membuat pelayan itu bingung, namun akhirnya tetap ia lakukan setelah meminta izin pada pemilik kafe.
Iya. Lelaki itu meminta musik yang telah selesai beberapa menit lalu yakni musik yang sama yang telah ia dengar diluar untuk diputar kembali. Lelaki muda tersebut memejakan mata, menikmati alunan musik itu yang membawanya pada satu kenangan yang mati-matian ingin dia lupa, namun dengan tidak tau dirinya kembali hadir hanya dengan alunan musik yang telah terputar dalam kafe. Alunan musik yang sama ia perdengarkan dengan masa lalu tersebut.

Every time you played that song
I didn’t want to listen so I complained
You joked around with me and when I scrunched up my face
You looked at me and laughed, I really hate that song but
Now it binds me tightly to this place
I continue to stand here blankly
And I keep drawing up the image of you laughing in my heart

Ah ya, namanya Grey. Greyyasa Naula. Tidak seperti namanya yang abu-abu, Grey memiliki sifat yang tangguh, seperti ketika dia menginginkan sesuatu maka ia akan terus mengejarnya sampai dapat, dan ketika ia tidak mau maka dengan tegas dia mengatakan tidak. Sama seperti ketika ia menyukai lagu yang masih diputar dalam kafe tempat lelaki muda itu berada. Grey selalu memutarnya, berulang kali tanpa rasa bosan.

Whenever that song is played, whenever I walk these streets
Memories dig into my heart and torture me
No matter how much I block my ears and shout
Like a fool, I blankly stand here

Lelaki muda itu memandang sekitar kafe sambil menyesap matcha tea yang telah ia pesan tadi dan kemudian menyadari satu hal, ia pernah kesini bersama Grey. Ia kemudian terkekeh sendiri dengan menggeleng-gelengkan kepala. Ah, kenapa aku bisa melupakan itu, begitu pikirnya.
Waktu itu Grey masih menggunakan seragam sekolah menengah pertama, duduk santai dengan mengangguk-anggukan kepala tanda ia menikmati sesuatu ketika lelaki muda –yang waktu itu masih menggunakan seragam sekolah menengah atas- baru saja tiba.
“Hei” Sapa Grey saat melihat lelaki muda itu medekat padanya dengan melepas headset yang sempat terpasang pada kedua telinganya.
Ah, pasti Grey habis mendengarkan lagu itu, pikirnya. Lelaki muda itu menjawabnya hanya dengan mengangguk dan tersenyum, lantas mendudukan diri didepan Grey.
Kemudian tanpa menunggu waktu lama, pelayan kafe medekat dan menanyakan apa yang akan dipesan.
“satu es cappucino dan satu es matcha tea, ya” Grey memesannya sebelum lelaki muda itu mengatakan apapun.
Pelayan kafe itupun mengangguk dan segera berlalu untuk membuatkan pesanan tesebut. Lelaki muda itu pun tersenyum dan mencondongkan tubuhnya pada Grey guna mengusak rambut halus perempuan itu dengan sayang.
Hari itu dilalui lelaki muda dengan mendengarkan celotehan Grey mengenai sekolahnya dan segala kegiatan yang dilakukannya menjelang ujian akhir. Semuanya terasa begitu sempurna dan pas. Grey selalu ada didekatnya. Mendengarkan ia berceloteh ria dengan mata berbinar membuatnya bahagia. Dan baginya, Grey adalah salah satu malaikat yang dikirim Tuhan untuk membuatnya bertahan dari keterpurukan yang sempat lelaki itu alami ketika ditinggal sang ibu. Namun, keesokan harinya, ketika waktu telah menunjukkan angka 14.14, Grey dinyatakan telah tiada lagi di dunia ini akibat kecelekaan beruntun yang terjadi ketika Grey ingin pergi ke tempat les.
Saat itu, yang bisa dilakukan lelaki muda hanya bisa menangis. Ia telah kehilangan orang yang ia sayangi sekali lagi. Ia telah kehilangan Grey. Ia telah kehilangan sang adik. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 14, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GiftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang