27 - Meja Hijau

327 67 3
                                    

/sometimes you fall in love with someone who just wasn't ready to be loved/
💠💠💠

"Sheryl, kamu yakin mau di rumah aja? Ikut, yuk!" pinta ibu Sheryl memelas.

"Bu, tolong kasih tahu alasan kenapa Sheryl harus ikut kalian ke pengadilan. Harus banget apa Sheryl ngelihat kalian berdua pisah secara sah? Sheryl nggak suka, Bu. Anak mana yang bakal suka lihat orang tuanya cerai? Silakan kalian pergi ke pengadilan, tapi jangan harap Sheryl bakal dateng," tegas Sheryl lagi.

Ibu Sheryl akhirnya mengalah. Dengan langkah gontai, beliau keluar dari kamar putri semata wayangnya itu dan bersiap berangkat ke kantor pengadilan. Hari ini kedua orangtua Sheryl benar-benar akan bercerai.

Setelah menunggu hampir dua puluh menit, Sheryl yakin betul kalau ibunya sudah berangkat. Kemudian ia beranjak dari kasur, membuka lemari pakaian dan bersiap mengganti piyama yang masih dipakainya dengan baju pergi. Sebenarnya seperti yang Sheryl bilang kepada sang ibu tadi, ia enggan ikut ke pengadilan. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, ia masih ingin melihat kedua orang tuanya bersama, walau untuk yang terakhir kali.

Semua siap. Sheryl menyambar hoodie merah dan sling bag dari gantungan di balik pintu sebelum keluar kamar. Tiba di luar kamar, ia segera mencari kunci motornya. Setelah ketemu, Sheryl berlari kecil menuju pintu masuk rumahnya karena tak ingin terlambat. Namun begitu membuka pintu, dirinya sukses dibuat terkejut setengah mati karena Leon tiba-tiba saja sudah berdiri di luar sana.

"Ngapain lo?"

"Jalan, yuk!" ajak Leon, lengkap dengan cengiran lebarnya.

"Nggak bisa, gue ada urusan penting," tolak Sheryl seraya memakai sepatunya dengan terburu-buru.

"Udah buruan, ikut gue aja!"

"Nggak, Leon. Gue mau ke—"

"Pengadilan, kan? Gue tahu, kok. Makanya buruan!" potong Leon sambil menggenggam tangan Sheryl yang baru saja selesai memasang sneakers-nya.

Sheryl berdecih namun tak melawan ketika Leon membawanya menuju motor yang terparkir di depan pagar rumah. Dengan sigap, Leon menaiki dan menyalakan motornya.

Sementara Sheryl hanya diam menunduk saat temannya itu memasangkan helm di kepalanya. "Harus banget apa lo ikut?" gumamnya nyaris tak terdengar.

"Hah? Lo ngomong apa?"

"Lo nggak perlu nemenin gue ke pengadilan, Leon," Sheryl mendongakkan kepala sekilas untuk menatap lelaki di hadapannya.

"Kenapa? Lo nggak suka gue temenin?" tanya Leon dengan enteng.

"Bukannya gitu. Lo tahu ini sifatnya pribadi banget, kan? Ini urusan keluarga gue, Leon. Dan lo udah terlalu banyak tahu masalah—"

"Ini yang terakhir," potong Leon. "Gue janji ini yang terakhir kalinya, gue ikut campur urusan keluarga lo. Gue cuman nggak mau lo terpuruk sendirian lihat orangtua lo cerai, Sher. Jadi tolong, biarin gue nemenin lo sepanjang hari ini. Ya?"

Sheryl mengerjap perlahan sambil mencerna kalimat Leon. Setelah mengerti, akhirnya ia mengangguk mengiyakan.

"Gue bilang ini yang terakhir karena gue percaya lo nggak bakal berlama-lama terpuruk setelah ini. Lo kan, cewek paling kuat yang pernah gue temui," Leon menepuk pelan helm yang dipakai Sheryl. "Ayo naik!" lanjutnya.

Sheryl menurut. Setelah gadis itu dalam posisi siap, Leon mulai melajukan motornya. Sepanjang perjalanan hanya diisi hening. Sheryl masih merasa canggung jika mengingat pengakuan Leon di taman hari itu. Perkataan lelaki itu benar-benar membuatnya tidak nyaman. Jujur, ia memang hampir memiliki perasaan yang sama dengan Leon. Tapi untuk mengungkapkannya, Sheryl butuh waktu lebih lama.

Pandora✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang