Part 1

5 0 0
                                    

Tuhan. Salahkah aku, jika sepertinya aku sudah lelah dengan yang namanya lelaki. Apalah artinya jika hubungan yang hampir lima tahun saja, ternyata tak menjamin bersatunya dua sejoli.

Masih jelas terngiang, dulu, aku mengaku sebagai perempuan yang kuat berintuisi, mengencangkan praduga yang tiba-tiba menyusup dalam diri, praduga yang ingin melesak keluar, yang ku kira sebagai sasaran paling tepat dan tiada lagi. Rasanya, aku ingin segera memberitahu bahwa dia adalah laki-laki yang ingin sekali ku sapa, laki-laki yang ingin ku gali kehidupannya, laki-laki baik yang penuh rahasia.

Kenapa aku bilang begitu? ya, setiap berjumpa dia sudah tak banyak bicara, kecuali ada keperluan atau saat terpaksa, tentu saja ketika presentasi di kelas. Ya, kebetulan kami satu kelas, satu ruangan, hampir setiap mata kuliah bertemu. Disitulah, aku mulai menilai siapa dia, gelagatnya, sikap dan cara bicaranya yang terkesan bijak, walau selisih dua tahun, aku melihatnya seakan ia jauh diatasku.

Dan bagaimana kami bisa menjalin kedekatan? ceritanya panjang.

Aku tak ingin membahas cerita tentang dia, karena ya mungkin kau tau sendiri kenapa aku menulis kata-kata seperti putus asa diawal tulisan, berkata pada Tuhan bahwa aku lelah dengan lelaki. Itu wajar, manusiawi jika sempat rapuh, tapi yang terpenting rapuh jangan sampai dimanjakan, bagaimana caranya kerapuhan itu bisa menjadi kekuatan berlipat untuk menguarkan energi positif, dan tentunya bisa mengetuk pintu hati memberikan kesempatan sang jodoh menghampiri, jangan sampai karena kehancuran yang pernah dialami menjadi penghalang untuk menyambut kebahagiaan yang baru, rugi.

Ya ku tahu, padahal pertemuan kami terencana, perasaan kami yang berpagut pasti sudah tercatat, hari-hari yang mulai kami lalui bersama jelas sudah tertulis di lauh mahfudz sana, tapi bagaimanalagi jika Allah mengatakan bahwa kami tak patut bersama, jalanNya mengatakan kurang baik. Apa yang bisa kami lakukan, kecuali menyelamatkan kehidupan masing-masing di episode selanjutnya, kami tak terlalu bodoh mengikuti ego untuk menerjang petunjukNya, melabrak petunjuk kurang baik di masa depan nanti.

Begitulah kiranya, kami berpisah secara baik-baik setelah lima tahun menautkan hati, walau hanya sekedar komunikasi tulis.

Sejak saat itu. Aku mulai belajar tanpanya, tanpa sapaan atau perhatiannya. Dan yang jelas, hatiku masih lelah, belum bisa menerima kehadiran orang lain, bukan berarti aku putus asa, bukan. Aku hanya ingin bernafas sejenak, menghirup udara seorang diri, menikmati hidup tanpa bersandar pada sang Adam, memulai lembaran baru dengan sepenuhnya bersimpuh pada sang Maha Cinta yang tak pernah menyiksa rasa ialah Allah yang berhak menerima cinta penuh hamba yang fakir dan hina.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 16, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Misteri Sang KekasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang