II. LIA

33 7 15
                                    

"Oke" jawabku. "Jadi kau ingin penjelasan."

Pemuda di depanku hanya mengganguk mantap.

Aku menghela nafas, kemudian melihat sekeliling. "Tapi Surya bukankah sebaiknya kita cari sebuah gubuk? Atau apalah karena tumpukan padi ini membuatku gatal. " tanyaku, berharap bisa mengalihkan pembicaraan.

Surya menelengkan wajahnya. "Aku punya seorang teman didaerah ini."

Haha. Tidak mungkin, pikirku mana ada orang yang tinggal di tengah sawah. "Apa jauh?," tanyaku.

"Gak jauh-jauh amat sih."

"Oke..." aku mengangguk kecil.

Surya kali ini menatapku. "Dan jangan lupa, aku butuh penjelasan..."

Aku menghembuskan nafasku. "Baiklah, aku berjanji akan menjelaskannya padamu."

Kemudian, Surya berdiri sambil mengibas-ngibaskan debu di celananya kemudian menyodorkan tangannya padaku, yang tanpa ragu langsung kusambut.
                          

                    ◀∽∽∽∽ ◀∽∽∽∽∽✘◀∽∽∽∽∽✘

Selama perjalanan gila ini, aku berusaha memutar kejadian yang sudah terjadi padaku selama sebulan terakhir ini. Awalnya aku bertengkar hebat dengan ibuku, dan akhirnya membuatku nekat kabur dari rumah. Awalnya aku mengira kalau aku akan hidup seperti gelandangan, duduk dipinggir jalan, mengemis dan jadi kaya karena hasil mengemis rupanya... Tidak. Ibuku malah mengirim beberapa bodyguard untuk mengejarku. Dan itu membuatku serasa jadi buronan.

Dua hari yang lalu, tepatnya di malam hari, saat aku berusaha tidur dibawah kolong jembatan. Sesosok mahluk serba hitam muncul dari dasar sungai—ya ampun, setan jaman sekarang punya selera buruk yah?—ia berbau busuk yang membuat truk sedot wc layaknya stella pengharum ruangan. Ia menunjukku seraya berseru. "Pergilah ke pasar dan hadapi takdirmu!." secara berulang-ulang, kemudian ia kembali ke dalam sungai.

Aku melongo. Bingung kurasa sudah jelas, maksudku takdir macam apa yang akan dihadapi seorang gadis remaja di tengah pasar. Aku tidak paham.

Lalu, aku berpikir pemuda yang dimaksud adalah seorang pria berpenampilan parlente atau seperti para tokoh dalam film superhero.

Nyatanya aku keliru, mungkin takdir yang dimaksud mahluk sedot wc itu pasti bukan anak ini. Apa benar kalau takdirku bertemu pemuda udik yang bahkan gak punya masa depan? Kalau benar, wah. Aku sial sekali.

Oke, dia memang kelihatan baik. Aku akui itu, dia mengembalikan dompetku. Ya, aku berterimakasih, tapi tetap saja. Sulit mempercayai kalau pemuda ini yang dimaksud Setan Penyedot Wc itu. Tapi setelah kupikir pikir, takdir macam apa yang bisa membuat seorang gadis terkesan terutama jika yang menyampaikannya itu berbau dan berpenampilan jorok seperti dia? Amit-amit deh!

"Nah kita sudah sampai," ujarnya sambil membentangkan tangan di depan gubuk kecil yang langsung membuyarkan lamunanku.

Sedikit info, kata 'gak jauh-jauh amat' menurut Surya dan menurutku agak (baca "jauh") berbeda. Apabila menurut kebanyakan orang artinya berada di dekat situ, maka menurut Surya berjalan sejauh 2 kilometer.

Gubuk itu masih layak huni. Tapi sepertinya ada yang janggal. Apa ya? Sesuatu seperti gubuk itu berpendar dengan sinar keemasan.

Aku melirik surya. "Apa... Gubuk ini milik temanmu?"

Surya terlihat sama bingungnya denganku, ralat dia malah terlihat lebih kebingungan daripada aku. Dungu sekali. Dia yang menyeretku, dan sekarang...?

"Apa gubuk itu bercahaya?" gumam Surya.

Aku mendengus. "Bodoh! Kau yang menyeretku kesini dan sekarang kau bertanya padaku?!"

Surya mengernyit saat mendengarku menaikkan suara dua oktaf.

"Maaf, maaf!"

Aku kembali menatap gubuk itu. "Tapi benar juga, darimana cahaya itu berasal?"

"TENTU SAJA DARI KERETA EMAS MILIKKU, IDIOT!"

Aku dan Surya terdiam. Suaranya dari belakang kami. Aku melirik Surya.

"Itu bukan suaramu kan?"

"Mana mungkin?! Itu kan suara perempuan!" bantah Surya.

"EH. NIH BOCAH-BOCAH! DAKU YANG NGOMONG, IDIOT!!"

"Daku?" Surya makin bingung.

Serempak kami berdua menoleh ke belakang perlahan-lahan. Ada seorang tante-tante berpakaian emas berdiri setidaknya 5 meter dari kami.

Ia mendengus. "Akhirnya kalian berdua datang, aku sudah menunggu kalian..."

Aku dan Surya diam. Tidak ada yang bicara.

"Nah, menurut Kanjeng Ratu aku harus mengantar kalian ke Istana, jadi kuharap kalian tidak muntah di keretaku..."

Kali ini aku berusaha bicara. "Kau....?"

"Oh, iya juga." Tante itu mendecih. Kemudian menatap kami. "Aku Nyi Blorong. Kuharap itu sudah cukup untuk menjelaskan semua."

Surya : The South Sea Queen TridentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang