Tersebutlah seorang pemuda bernama “Linggau”. Pemuda yang sama sekali tak pernah tampan di mata para kembang desa. Pemuda yang keras kepala, teguh pendirian dan pembangkang tentunya. Nama pemuda tersebut terdengar hingga ke lima desa tetangga. Pemuda yang pada saat dilahirkan, semua penduduk berharap padanya. Bagaimana tidak, Linggau adalah anak semata wayang dari seorang cendikiawan di desa tersebut. Ayahnya orang yang sangat dihormati dan disegani di kampungnya. Setiap musyawarah untuk menyelesaikan masalah ataupun menyangkut perkembangan desanya, pendapat dan nasehat Ayahnya selalu di dengarkan dan menjadi pertimbangan untuk sebuah keputusan.
Nama Linggau sendiri diambil dari nama sungai yang membelah desa tempat tinggalnya. Linggau lahir lebih cepat dari perkiraan orang-orang. Saat itu ramai sekali orang-orang mandi sungai desa tersebut. Termasuk ada Ayah dan Ibunya yang tengah mengandung dia. Ditengah-tengah hiruk pikuk kesenangan warga, tiba-tiba Laras berteriak minta tolong kepada suaminya. Rupanya Laras hendak mau melahirkan. Menurut perkiraan, Laras akan melahirkan kira-kira satu bulan kedepan. Tapi tidak , perkiraan tersebut meleset kiranya. Dan ramailah para warga mengerumuni istri dari cendikiawan desa tersebut. Tidak akan cukup waktu untuk membawa pulang Laras kembali ke pedesaan. Akhirnya setelah bermusyawarah secara singkat, warga sepakat akan melakukan persalinan hari itu juga. Akhirnya Laras digotong menuju sebuah pondok kecil yang tak jauh dari tepi sungai. Di sanalah Laras melahirkan anaknya. Dan lahirlah seorang anak bernama Linggau. Seorang anak yang diharapkan kelak mewarisi kepintaran, kecerdasan, dan kebajikan dari Ayahnya yang bernama Mahendra.
Tapi agaknya nasib berkata lain, pepatah yang menyebutkan : “buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya” itu sama sekali tak berlaku padanya. Linggau yang diharapkan mewarisi setiap sifat dari Ayahnya justru berbeda seratus delapan puluh derajat. Awalnya Linggau pada masa kanak-kanaknya termasuk anak yang pintar, rajin, patuh dan santun baik kepada ayah ibunya maupun kepada orang lain. Tapi itu semua berubah saat Ayahnya ditemukan seorang warga di tengah hutan belantara terbujur kaku tak bernyawa. Sampai sekarang tidak ada yang tahu apa penyebab kematian ayahnya tersebut. Linggau yang saat itu masih kecil dan tak tahu apa-apa hanya terpana menyaksikan jasad Ayahnya di kubur ditanah kosong yang tak jauh dari tepi sungai linggau. Linggau yang masih kecil bertanya pada Ibunya : “Ibu… kenapa Ayah dimasukkan kedalam tanah? Apakah Ayah akan kembali? tanya Linggau dengan begitu lugunya. Sang Ibu hanya terpana dan tak bisa menjawab apa-apa kepada anaknya, selain hanya terduduk, bersimbah air mata sambil memeluk anak semata wayangnya.
Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan beranjak dan tahun demi tahu berganti pula. Linggau kini tinggal berdua bersama Ibunya. Melewati masa suram itu dengan apa adanya. Laras memutuskan untuk tidak menikah lagi, saking setia dan cintanya dia kepada suaminya. Setiap lamaran yang datang kepadanya, baik dari penduduk biasa maupun dari saudagar kaya, semua itu dia tolak. Tak terhitung berpuluh-puluh pemuda maupun yang sudah beristri patah hati dibuatnya. Laras bertekad membesarkan anaknya sendirian, tanpa bantuan orang lain. Namun apalah daya nasib berkata lain, Linggau yang dia harapakan menjadi pemuda seperti suaminya tiba-tiba menjadi pembangkang, kerasa kepala dan sering membuat ulah didesanya.
Seperti kejadian saat ini …
Saat Laras tengah asyik merapikan pakaian didalam lemarinya, tiba-tiba dia dikejutkan dengan sebuah teriakan yang memanggil-manggil namanya.
“Laras. Laaraaas !!! keluar kau dari rumahmu.” Laras menghelus dadanya dan berbisik pelan ; “Oh Tuhan, dosa apa lagi yang diperbuat anakku?” sambil melangkah menuju keluar dan menuruni anak tangga rumahnya satu persatu.
“Laras !!! Lihat apa yang telah diperbuat anakmu terhadapku. Mukanya lebam dan hidungnya berdarah. Dimana anakmu yang nakal itu, akan kupukul dia dengan sapuku ini.” teriak wanita tua itu dengan sangat emosi.
“Ma…af mak. Maafkan atas kelakuan anak saya.” ucap Laras dengan sedikit menundukkan badannya.
“Maaf. Maaf !!! Setiap anakmu melakukan kesalahan, kau cuma bisa berkata maaf. Apakah seperti ini ajaran dari mendiang suamimu yang kata orang mulia hatinya itu? ucap wanita tua itu dengan sedikit tercekat dan agaknya dia sedikit menyesal karna telah membawa-bawa suami laras yang telah tiada itu.