Prolog.

33 4 3
                                    

Laki-laki itu berjalan di koridor sekolah. Menatap sekeliling, memastikan keadaan. Entah apa yang ia cari, yang jelas kini kotak itu Ia genggam erat. Sejak pukul 5 pagi ia membuatnya, belajar dari Mbah Google, bagaimana membuat lunchbox yang menarik. Ya, itu adalah kotak bekal yang dibuatnya khusus untuk seorang gadis. Tidak begitu spesial di sekolah, namun selalu melekat dalam hatinya.

Kotak pink itu berisikan bekal super imut yang pastinya akan menggugah selera orang yang melihatnya.

Diatas tutup kotak itu, ditempelkannya sepucuk surat, dengan harapan sang penerima akan mendapatkan energi positif setelah menikmatinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Diatas tutup kotak itu, ditempelkannya sepucuk surat, dengan harapan sang penerima akan mendapatkan energi positif setelah menikmatinya. Beginilah sehari-hari Henry. Mengirim surat bagi gadis impiannya, tanpa sekalipun menyebutkan nama. Sudah lebih dari 4 tahun memuja, namun hingga kini dia belum juga punya kesiapan berterus terang. Dia terpengaruh oleh ketakutannya sendiri, bahwa suatu hari ia akan ditolak dan sang gadis menjauh, tiap hari ia hanya akan merapalkan doa dalam dirinya, berharap esok hari gadis itu akan peka akan semua perhatian yang ia curahkan, atau menyadari sosoknya. Setelah meninggalkan kotak itu diatas meja disudut lapangan basket, Henry segera meninggalkan tempat itu berangkat menuju kelas. Lapangan Basket merupakan tempat para cheerleader latihan tiap hari Jumat dan Sabtu, dan disanalah gadis itu, menjadi bagian dari 20 perempuan 'favorit' di sekolah mereka.

Henry memasuki kelas dengan sangat riang, kepalanya kini dipenuhi oleh senyuman sumringah pujaan hatinya.

"Ah, lama-lama bisa gila jika begini terus" Gumamnya sendiri, sambil mengusap wajahnya, diambilnya buku pelajaran pada jam ini.

"Henry, udah Nugas belum?" Henry mendengus pelan, gadis ini memang kebiasaan banget. Duduk diatas meja Henry dan menghalangi penglihatannya. Siapa lagi jika bukan Amber. Gadis jadi-jadian yang tidak lain adalah teman duduknya.

"Ber, udah berapa kali sih gua bilang, jangan duduk di meja gua, kalau kepintaran gua luntur gimana" Kata Henry kesal, sementara lawan bicaranya malah asyik mengemut lollipop kesukaannya.

"Udah jangan pake ngomel, buat apa gak? Kalau enggak gua mau melipir dulu ke kelas sebelah" Jawab Amber sambil turun dari Meja Henry dan mengambil buku tugasnya.

"Udah, gak usah pake minjem ke kelas sebelah, bikin malu aja. Nih, salin yang bener, awas aja ampe titik komanya lu samain" Amber terkekeh pelan, gampang sekali mendapat jawaban dari sang juara kelas ini. Amber sendiri sudah berteman dengan Henry sejak lama. Sehingga Amber hapal betul bagaimana perangai sahabatnya ini, termasuk kisah cintanya...karena mereka berdua punya kisah yang sama. Amber dan Henry sama-sama pecundang dalam mengungkapkan rasa yang mereka pendam, tapi setidaknya Amber punya alasan, bahwa laki-laki yang membuatnya jatuh cinta, telah mendamba perempuan lain. Lagipula, mana mungkin sosok Perfect seperti Henry akan jatuh cinta pada gadis slengean yang sama sekali tidak punya sosok feminim seperti Amber? Ya, Amber jatuh cinta pada Henry sejak hari pertama mereka bertemu di MOS SMP. Henry yang kala itu bermain biola di acara penutupan MOS membuat Amber begitu terpana, awalnya Amber hanya berpikir bahwa itu karena kesukaan Amber pada permainan biola, tapi lama-lama Amber mulai sadar, itu sudah tanda ketertarikannya pada lawan jenis.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 31, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dalam Diam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang