Sembilan✔

520 57 5
                                    

Rio

Seperti sebuah cerita masalalu yang diputar kembali. Aku kembali melihat lumuran darah di depanku. Perkelahian demi perkelahian terjadi tanpa henti. Tanganku masih menahan tangan Sam yang ingin menghunuskan pisau tajam di leherku. Matanya berapi, menunjukkan kemarahan yang ditujukan padaku. Tapi aku belum mengerti, kenapa ia bisa semarah ini padaku.

Sebelumnya, setelah kedatangan pak Herman. Clara memekik keras memanggil ayahnya. Aku tak tau kenapa dia menjadi gadis selemah dan sebodoh ini. Mungkin karena apa yang ia hadapi sekarang bukan perempuan bertubuh atletis seperti kemarin, melainkan lelaki berbadan gempal. Dan kau tau, Sam langsung menerjangku dengan pisaunya sambil menindihku sampai saat ini.

Suara cempreng Clara berkeliaran dikepalaku. Suara minta tolong itu semakin melengking, dan hilang setelah gebrakan pintu di kamar atas. Aku tau, semuanya gagal atas semua kekacauan ini.

Kutendang perut Sam menggunakan lututku sehingga ia mengaduh kecil. Namun ia tak jatuh juga, tenaganya terlalu kuat untuk manusia biasa.

"Sam.. ini gue. Rio, sahabat lo sendiri. Lo baru diapain dengan cewek bangsat tadi, sadar Sam..!!" Teriakku tak karuan.

Mata Sam membulat, otot disekitar wajahnya terlihat menyembul seperti akar pohon. Tangan kirinya mencengkeram kerah bajuku sedangkan tangan kanannya masih setia memegang sebilah pisau tajam yang ia arahkan pada wajahku, tepatnya di bagian mata.

Terdengar suara teriakan lagi, dan suara tersebut dari pak Herman. Kakinya diinjak komplotan berbadan gempal. Membuat aku nyeri seketika melihat aksi kejam yang dilakukannya.

Kualihkan pandanganku pada Sam yang memandangku kosong. "Sam.. Saaammm...!!!"

Dia kembali mencekikku. "Daun yang dipetik tidak akan membuat rumput itu mati, namun akarnyalah yang akan melenyapkannya" ucap Sam tiba-tiba.

"Apa.. maksud.. lo?" Ucapku tersengal karena pasokan oksigen semakin menipis.

"Lo akar dari permasalahan ini, jadi lo harus mati. Gue nggak ingin kehilangan Clara, bagiku dia sangat berarti" lanjut Sam sambil menekan kembali leherku.

Aku tak tahu, kurasa inilah akhir dari hidupku. Namun aku tak ingin memberikan kemenangan bagi kejahatan. Selamanya kebaikan yang menang. Namun ada masanya kebaikan itu kalah dan bangkit.

Dengan sisa tenagaku, kudorong tubuh jangkung Sam. Ia ambruk.

"Sam, bagaimanapun juga ini semua keliru. Jika lo suka dengan Clara, nggak begini caranya. Masih banyak cara sehat untuk mendapatkan dirinya. Dan belum tentu dia bisa bersamamu jika aku sudah terbunuh" ucapku sekali lagi.

Sam kembali meraih pisaunya, "kauuu... banyak ba-" ucapan Sam terhenti.

"Stoop..!!" Lengkingan suara tersebut terdengar dari lantai atas.

Kami menoleh pada suara tersebut.

Bagai petir di musim hujan, aku melihat Adel menyandra Clara di bibir tangga. Ia tersenyum licik.

"Tolong aku" ucap Clara lemah dengan air mata yang membasahi pipinya. Dia menggeleng pada Adel, namun bagai dirasuki jin Adel mendorong tubuh Clara.

"Tidak!!" ,teriakku.

tubuhnya menggelinding dari ketinggian sekitar 4 meter. Tubuhnya berbenturan di setiap anak tangga, hingga berhenti persis di depanku.

TEROR JINGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang