14 | Bau Akan Terhidu Jua

10.6K 1.8K 203
                                    

Hallooooooooo semua??? Masih di sini, kan? Nggak ada yang kabur kan? Aku aja miss kalian loh... 😍😍

Karena satu dan dua alasan, maafkan aku yang baru bisa nongol yes.

Maaf juga karena belum sempat balasin komen kalian. Pasti kubalas, kalau sudah longgar kok. Jadi, jangan lemes komen dan votenya. Kutunggu..

⬛⬛⬛⬛

Kalaupun Arimbi sudah menerima cincin sekaligus menerima perasaan Bima, maka itu bukan berarti seluruh urusan selesai begitu saja. Bukan berarti beban pikiran terus luruh bak sampah yang tersapu air. Bukan berarti Bima bisa tertawa keras tanpa memikirkan lara. Bukan berarti hidup Bima akan mutlak damai tanpa adanya bentuk-bentuk ketakutan yang mengintip dari sudut-sudut gelap.

Tidak ada yang membaik, justru keadaan kian memburuk tiap harinya. Hati Bima masih dipertaruhkan. Tiap hari, makin bertambah porsinya. Lalu setelah Arimbi bersedia mengambil potongan hati itu, maka sudah barang tentu hati itu akan ikut berlari jika keadaan memaksa Arimbi untuk pergi. Peluang Bima untuk patah makin terbuka lebar. Peluang Bima untuk hancur, makin terlihat jelas.

Sejenak, ajak Bima melupakan masa-masa suram yang belum datang pun sudah berhasil mencekik lehernya. Sejenak, ajari pria itu untuk jadi lebih kuat. Karena bukan hanya dia yang digulung takut dan khawatir kini. Karena setelah sebuah perasaan tergambar baik di permukaan, maka ada hati lain yang Bima bawa serta menyelami lautan gamang. Karena Bima harus tetap berdiri tegak, supaya dia bisa menopang Arimbi yang jelas tak akan seceria kemarin.

"Pagi ini aku yang bikin sarapan deh. Kamu duduk cantik aja di sana."

"Nggak usah, Bim. Aku aja."

"Udah, nggak apa-apa. Aku bisa bikin roti bakar tanpa racun buat kamu. Ayo duduk."

"Beneran bisa?"

"Beneran, Bee," tandas Bima dengan senyum lembut. "Percayakan sama aku."

Gadis yang terlihat lesu itu tak memberikan bantahan lebih banyak. Kakinya melangkah lemah untuk bisa menggapai meja bar. Bersendang dagu, nyalang memandang udara kosong.

Arimbi yang berada pada titik inilah yang harus bisa Bima kuatkan. Gadis yang terbiasa bangun pagi untuk menciptakan keributan kecil di dapur, hari ini bangun lebih lambat dari matahari. Dia yang terbiasa meninggalkan istana mungilnya dengan wajah berseri-seri, pagi ini memameri Bima pemandangan wajah pucat pasi. Seolah belum seberapa lebar menyayat hati Bima, Arimbi masih melengkapi penampilannya dengan mata sayu juga suara lemah.

Sudah. Babak belur hati Bima.

Semua yang ia lakukan serba salah. Memendamnya seorang diri, sama artinya meracuni ia dengan perlahan. Mengabarkan pada Arimbi, sama artinya menghancurkan tatanan hidup Arimbi yang hampir tersusun rapi. Semua yang Bima lakukan, berpangkal pada satu hal. Mengerang kesakitan.

"Ini. Roti bakar dengan selai coklat kesukaanmu."

"Sedikit gosong ya, Bim?"

"Nggak apa-apa. Sekali-kali bikin roti bakar yang eksotis."

Untuk kali pertama, gadis itu memamerkan tawa. Gemerincing merdu yang pada detik berikutnya berhasil mendorong satu bongkahan besar yang mengganjal kerongkongan. Bima ikut menyusuli tawa, tak membiarkan gadis itu sendirian. Bima ikut menggigit satu lapis roti, tak membiarkan dia tertinggal jauh oleh gadis di sampingnya ini.

"Bim?"

"Hm."

"Maaf karena bangun telat, aku jadi nggak bisa siapin sarapan buat Bima."

Kotak MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang