Setelah perjalanan yanh cukup lama, akhirnya kami sampai di sebuah rumah di Jakarta. Rumah mewah yang sangat besar berwarna cat putih. Rumah ini terletak di sebuah perumahan yang harganya cukup mahal. Rumah baruku memiliki tempat parkir mobil yang cukup luas, dan ada bagasi di lantai dasar. Untuk menuju ke lantai satu, terdapat tangga yang berlapis marmer.
Aku membantu papa baruku membawa barang kedalam rumah. Mama baruku juga ikut membantu, dan juga adikku. Beberapa pembantu juga membantu kami. Akan tetapi, Bryan hanya langsung ke dalam dan hanya mengambil barang-barangnya saja. Menyebalkan sekali anak itu, bahkan tadi di pesawat, walaupun duduk disampingku, dia menarik pembatas agar aku tidak melihatnya.
Setelah semua beres, aku memilih kamarku. Aku ingin kamar yang di ujung yang terkesan damai dan jauh dari ruang utama. Saat aku menarik koperku, aku melihat-lihat dekor ruangan yang bagus sekali, di rumah kakek tidak ada yang seperti ini.
Aku pun mengangkat koperku dan menuju ke lantai 2.
"Mas Odi, mau dibantu?" Tanya Pak Umar, selaku supir dirumah ini.
"Tidak usah pak, saya bisa sendiri. Bapak istirahat saja." jawabku karena aku lihat dari tadi Pak Umar banyak membawa barang yang sangat berat.
"Baiklah kalau begitu, bapak permisi." ucap Pak Umar lalu pergi.
Aku pun menuju ke lorong lantai 2 sambil membawa koperku, terdapat sebuah kamar di ujung. Aku pun membuka pintu, ternyata ada Bryan disana.
"Pergi." ucapnya dingin dengan tatapan dinginnya.
"Maaf, aku ga bermaksud-"
"Gua bilang pergi ya pergi!"
Aku pun pergi meninggalkan Bryan dan menuju ke lorong yang lain. Terdapat kamar kosong di ujung, untunglah tidak ada siapa-siapa.
Aku pun membereskan bajuku dan menaruhnya di lemari-lemari yang tersedia. Aku menata semua barang yang kupunya, termasuk foto keluargaku. Aku menatapnya sambil mengenang memori saat aku masih kecil, andai aku dapat kembali pada masa itu.
Tes.. tes..
Air mataku jatuh tanpa kusadari, aku pun cepat-cepat menghapus air mataku. Aku harus tetap kuat dan menjalani hidupku dengan lebih baik. Andai aku tidak di tukar saat itu, pasti aku tidak akan merasa sedih seperti ini.
Tok.. tok.. tok...
"Iya?" tanyaku.
"Odi, mama mau masuk. Bolehkan?" tanya mamaku.
"Boleh." jawabku singkat.
"Wah, kamu sudah berberes-beres ya, Odi." ucapnya setelah masuk sembari melihat sekeliling kamar.
"Iya."
"Apakah kamu lapar, Odi?"
"Tidak." jawabku, seketika perutku berbunyi.
"Jangan berbohong, nak. Hahaha... ayo kita ke bawah, bibi Yun sudah memasak makanan di dapur." ucapnya sambil merangkulku dan aku pun mengikutinya.
Setibanya di meja makan, hanya ada aku, adikku Brenda, mama, dan papa. Tidak ada Bryan, memang sudah biasa seperti ini. Semenjak aku pindah ke rumah keluarga ini yang ada di Bangka, Bryan tidak pernah makan bersama.
"Kak Bryan kok ga makan bareng kita lagi?" tanya Brenda yang masih berumur 5 tahun itu.
"Iya sayang, mungkin Kak Bryan sedang lelah jadi malas ke bawah." jawab mama Shinta dengan senyuman menenangkan.
"Ah, anak itu. Kapan ia bisa dewasa." ucap papa Fero.
"Sudahlah mari kita makan saja." ucap mama sambil mengusap pudak mama.
Lalu kami pun makan bersama. Makanannya lezat sekali dan aku tidak pernah makan makanan yang seperti ini. Sepertinya semua ini makanan barat. Makanannya membuat perutku sangat kenyang.
Sesudah makan, aku bergegas ke kamar. Aku mengintip ke lorong yang ada kamr Bryan. Di depan pintunya terlihat nampan makanan, karena aku ingin tahu apakah ia memakannya atau tidak, aku pun bergi ke lorong sebrang.
Saat aku tiba disana, makanannya masih utuh dan belum tersentuh sama sekali. Aku sedih, karena aku Bryan seperti ini. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lonely Teen
General FictionOdi adalah anak yang baik saat ia masih kecil. Walaupun sudah ditinggal oleh orang tua nya, ia mandiri dan berprestasi. Setelah kehilangan kakeknya yang berharga, ia pindah ke Jakarta bersama keluarga yang baru. Akan tetapi ia tidak bahagia, ia sebe...