Goresan pertama, kedua dan seterusnya. Goresan ini hanya akan berakhir, jika mata ini telah melihat gelap. Tapi yang aku lihat sekarang bukanlah kegelapan, melainkan sebuah padang rumput. Aku menelusuri padang rumput itu sendirian hingga kaki ini mulai lelah untuk menopang. Aku mengistirahatkan badan ku sejenak, sampai akhirnya ada suara familiar yang memanggil namaku. Aku bahagia, sangat bahagia. Aku kembali bertemu dengannya, kembali menggegam tangannya dan kembali ke pelukannya. Oh Tuhan, apakah ini hanya mimpi? Kalau iya, aku mohon. Jangan bangunkan aku dari mimpi ini.
Kami berdua berjalan mengitari padang rumput itu seraya bersenda gurau. Pada saat itu, aku merasakan beban di pundakku terlepas. Melihat tawanya, melihat senyumnya, adalah apa yang ku inginkan. Setiap aku melihat namaku, yang aku bayangkan hanya suaranya yang memanggil namaku. Aku menyayanginya, sungguh. Aku tidak ingin berpisah lagi dengannya. Aku tidak ingin kembali pada kesendirian yang tak berujung itu. Dia menggenggam tanganku dan membisikkan sesuatu,"Aku menyayangimu.." Aku tersenyum dan hanya mengangguk. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Kami duduk di bawah sebuah pohon yang sangat rindang. Kami membahas bagaimana anehnya awal pertemuan kami. Tertawa tanpa beban dengannya, merupakan salah satu impianku. Semakin lama kami berbincang. Aku merasa semakin kehilangannya. Aku benci perasaan ini! Aku ingin menikmati kebahagiaanku dengannya.
Senja datang, dia tiba-tiba menggenggam tanganku lalu bertanya,"Boleh aku memelukmu untuk yang terakhir kali?" Aku kebingungan. Terakhir? Kenapa? Memangnya dia akan pergi? Kemana? Tapi, semua pertanyaan itu hanya ada di dalam benakku. Tak ada sepatah kata pun yang terucap. Sampai akhirnya dia memelukku. Pelukan yang sangat hangat dan nyaman. Tetapi, yang bisa aku lakukan hanya membalas pelukannya.
"Kau tampak cantik dengan gaun putih itu.." Saat dia mengatakan itu, tubuhnya mulai menghilang. Aku menggapainya berkali-kali. Tuhan aku mohon, jangan bawa dia pergi! Jangan! Tapi beberapa saat kemudian, yang tersisa hanyalah sebuah kalung yang aku beri. Aku menangis. Sendirian. Di tengah padang rumput yang tak berujung. Sampai akhirnya aku tertidur memeluk kalung itu.
Atap putih, selang infus, lengan kiri yang diperban. Aku mencoba bangkit dari posisi tidurku. Aku melihat sekeliling. Ini rumah sakit? Kenapa aku ada di sini? Di situ ada ayah dan ibu ku yang sedang menangis. Kenapa mereka tidak sadar aku telah bangun? Aku berdiri dari kasurku. Dan alangkah kagetnya saat aku menengok ke arah bawah, di situ ada diriku yang lain, tepatnya tubuhku.
Aku menengok ke arah pintu dan terlihat sosoknya berdiri di depan pintu. Aku mendekat kepadanya dengan berlari kecil, dan saat aku akan menggapainya. Dia menjauh seraya berkata,"Tadi adalah salam perpisahanku. Hiduplah. Cari kembali kebahagiaanmu." Saat dia kembali menghilang, aku pun terbangun dari tidurku. Ayah dan ibu langsung memelukku dan memanggil dokter untuk memeriksa keadaanku.
Oh sekarang aku ingat kenapa aku bisa sampai di sini. Dia telah pergi jauh, sangat jauh sampai tidak bisa ku gapai lagi. Dia mengalami kecelakaan hebat, tepat pada hari jadi kami yang ke 7. Aku teringat akan janjinya 2 tahun yang lalu. Tetapi, ya, dia tidak menepati janjinya. Janji untuk terus bersamaku sampai kapanpun. Dan yang bisa aku lakukan hanyalah melampiaskannya dengan air mata dan goresan pada lengan kiriku.
Aku akan hidup, aku akan kembali mencari kebahagiaanku yang lain. Meskipun, itu bukan bersama mu.
Maafkan aku, aku menyayangimu. Aku ingin memutar balik waktu, agar aku bisa kembali bersama mu. Atau jika perlu, aku ingin tetap hidup dalam kebohongan tanpa akhir bersama mu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Somnium (Oneshot)
Short StoryAku ingin tetap hidup dalam kebohongan tanpa akhir.