***
ArfisiLagi-lagi, pagi datang dengan begitu tergesa. Aku tak sempat memeluk malam. Aku selalu mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Dan kau pun tak pernah absen untuk mengiyakan. Aku tahu, kau pun tahu. Waktu yang akan melerai kita. “Jadi, mau berapa lama lagi?” katamu, selalu. Aku dipaksa tenggelam dengan pertanyaan itu. Aku tahu, menunggu adalah hal yang paling menyebalkan.
“Bangun, kawan. Kau tidak ingin Bu Novi mengusirmu lagi, bukan?” ujar Gatra, teman kosku. Sudah tiga kali aku diusir oleh Bu Novi di semester ini. Telat, katanya. Padahal, aku hanya ingin mengambil jatahku sebagai pelajar, ilmu. Hanya saja, aku kurang mahir dalam bangun di pagi hari. Mau tak mau, aku bergegas membersihkan diriku.
Melewati bangunan-bangunan tua di kampus mungkin bisa menjadi hiburan bagiku. “Sudah lama kita tak menapaki jalanan ini bersama, Sha.” batinku bergumam. Ah, lagi-lagi nama Rasha muncul. Besok adalah hari kepulanganmu dari Tokyo. Aku tidak mempersiapkan apa pun. Mungkin, kau bahkan lupa raut wajahku.
“Arfisi Samudra, kau sudah mendapatkan topik makalah akhirmu?” tanya Bu Novi tegas. Aku segera membawa setumpuk kertas hasil penelitianku selama dua minggu ini. Walaupun aku tidak betul-betul menguasai mata kuliah ini, setidaknya aku telah menyicil tugas akhirku. Setelah usai berkonsultasi, pandanganku terlempar ke jendela.
“Aku mengerti bahwa kita sama-sama telah merasa saling memiliki, bukan?” ujarku sambil merapikan lengan kemejaku. “Ya, tentu, Arf.” sahut Rasha. “Tapi, aku...” dengan nada ragu “Kau masih takut untuk memulai?” jawabmu cepat “Ya, banyak hal yang aku takutkan. Terutama... Kehilangan kamu, Sha.” jawaban yang sudah kau hapal betul.
“Kalau kita di sini saja, apa kau bisa menjamin bahwa kau tidak akan kehilangan aku, Arf? Aku tahu kau pernah terluka. Dan aku juga. Aku rasa, setiap manusia pun begitu. Tapi, bukan itu intinya, Arf. Aku akan menerima resiko itu, aku siap untuk terluka. Tidakkah kau juga demikian?” kini binar matamu begitu menyilaukan. Ah, matamu. Aku selalu membisu saat kau melakukan itu.
Kau datang dengan caramu yang unik. Kau dapat membuatku kembali berani untuk berjatuh-jatuhan untuk mempertahankan suatu hubungan. Kemudian, waktu merayu dirimu untuk pergi dan meninggalkan jarak di antara kita. Ah, apa yang akan aku lakukan ketika kau kembali, Rasha? Aku tidak mengerti apa yang terjadi kepada kita sekarang. Semua terjadi sangat cepat. Sudah aku bilang, jenuh akan mengalahkan dirimu.
***
RashaAku terbangun. Aku heran mengapa tiga hari belakangan ini aku selalu memimpikanmu. Kau terlalu penyerah, Arf. Apa lagi yang kau tunggu? Sembari mengemasi barang, aku menyalakan lampu apartemenku. Rupanya, pagi ini tidak begitu terang. Udara pun tak sesegar biasanya. Mungkin, aku yang terlalu murung untuk menikmati hari. Sesaat lagi, aku akan kembali ke Jakarta.
“Apa tidak apa-apa kalau kita di sini-sini saja, Sha?” katamu tanpa basa-basi. “Aku tahu setiap wanita menginginkan suatu kepastian. Dan kau pun begitu, bukan? Lalu, kepastian apa lagi yang kau inginkan? Kita sudah saling memiliki sekarang.” Lanjutmu yang membuat aku diam. Aku selalu ingin menyela pernyataan itu. Apa yang bisa menjamin bahwa kita saling memiliki, Arf? Aku langsung menebas lamunan itu.
Aku segera pergi ke kafe yang tak jauh dari apartemenku. Di sini, aku biasa memulihkan penatku selama berada di sini. Mungkin, ini adalah terakhir kalinya aku memesan kopi favotitku di sini, setidaknya untuk waktu yang lama. Hanya dengan menunjukkan jari telunjukku, pramusaji langsung kembali ke mejanya. Sudah hapal, barangkali.
Kini, semua media sosialku sudah penuh dengan ucapan “safe flight”. Dan, ya. Tidak ada satupun dari nama Arfisi. Kau sudah melupakanku, tentu. Secangkir kopi tiba di mejaku dengan sebuah pelukan dari Rinna, pramusaji tadi. Ia adalah seorang perempuan keturunan Indonesia. Aku selalu merasa nyaman ketika mengobrol dengannya.
“Sudah bosan di Tokyo, rupanya. Apa yang akan kau lakukan nanti, Sha? Membuang jauh-jauh Arifisi?” tanya Rinna, tiba-tiba. Rasanya, itu pertanyaan tersulit selama aku mengikuti pertukaran pelajar di sini. “Entahlah. Mungkin waktu bisa membisikkan jawabannya nanti” jawabku diselingi tawa. “Banyak hal yang harus aku pikirkan. Studiku, terutama.” Lanjutku berbohong. Arfisi, nama itu selalu mengiang-ngiang di kepalaku.
Aku merapikan barang bawaanku dan memberikannya sebuah gelang buatanku sendiri. “Semoga kau selalu mengingatku, Rin. Aku pasti akan berkunjung ke sini jika aku kembali ke Tokyo.” kataku disambut dengan senyum haru darinya. “Ingat selalu untuk aktif di media sosialmu, ya. I’m gonna miss you, Sha.” ujarnya sambil memelukku. “Titip salam untuk Arfisi, ya.” katanya yang hanya dijawab senyum ragu dariku. Apa kita akan bertemu lagi, Arf?
***
Jakarta, 3 Desember 2019Arfisi berlari menuju kelas. Lagi-lagi, ia harus diusir. “Ah, hanya terlambat tiga menit!” gerutunya dalam hati. Mau tak mau, ia menunggu di depan kelas untuk menunggu kelas selesai. Ia sesekali mengintip dan harus menyaksikan Gatra tersenyum menyindir padanya. Arfisi membuka buku untuk mengganti ketidakhadirannya di kelas hari ini. Tentu, juga untuk mengusir bosan.
Ia mulai iri ketika beberapa kelas lain telah selesai. Ia menutup bukunya dan beranjak dari tempat duduknya. Mulai membosankan, baginya. Matanya hilir mudik melihat bubaran kelas-kelas lain. Kemudian, tatapannya berhenti di seorang perempuan yang telah lama tak dijumpanya. Tak ada yang berbeda, tetap Rasha yang dulu. Wajahnya panik ketika Rasha menatap balik. Demikian juga yang terlihat di wajah Rasha.
Waktu seakan berhenti sekian detik hanya untuk menenangkan wajah mereka berdua. Tak ada tegur sapa, hanya ada rasa yang kian tak tertahan. Keduanya larut pada rasa malu. Malu untuk melepas rindu. Padahal, mereka sama-sama tahu bahwa mereka saling menyiratkan sesuatu. Rindu harus berujung temu.
Arfisi merasa harus mengalah pada takdir. Laki-laki lah yang seharusnya memulai percakapan. Begitu kodratnya, bukan? Tapi, ia terlalu banyak pertimbangan. Lain kata, ia terlalu penakut. Rasha mulai merekahkan senyuman. Keringat dingin mulai menghampiri Arfisi. Ia tidak tahu bagaimana harus memulainya. Ia masih ingin menunggu. Namun, Rasha justru memberikan tanda bahwa ia harus pergi. “Jangan!” batinnya.
Arfisi mendengus dan membalikkan badannya untuk kembali ke tempat duduknya. “Arf,” suara itu menghentikannya sejenak, “Apa kau sedang sibuk?”. Arfisi langsung menoleh dan menjawab dengan cepat, “Tidak... Tentu.”. Yang dinantikan pun tiba. Ia telah menyiapkan kata-katanya yang paling romantis, kemarin. Tapi, ia pun tahu bahwa kata-katanya akan sekejap luntur ketika Rasha menatapnya erat. Benar saja, ia diam tak bergeming. Rasha menatapnya lekat dan membuka topik pembicaraan lagi.
“Apa kau lapar? Sudah lama kita tidak mengobrol.” tanya Rasha. “Boleh. Di tempat biasa saja, ya, Ca?” jawab Arfisi. “Kau memanggilku dengan nama itu lagi.” ujarnya dengan pipi yang mulai merona. “Ya, Aca. Panggilan orang rumahmu. Agar saat bersamaku, kau merasa di rumah.” kata-kata itu membuat Rasha makin tersipu. Rasanya, jarak yang selama ini memisahkan mereka tak lagi berarti.
Keduanya pergi ke kedai yang mereka biasa kunjungi. Kedai itu adalah saksi kisah mereka selama ini. Suasana dan menunya pun masih sama. Tak ada yang berubah, kecuali rindu yang meluap-luap di ruangan itu. Keduanya saling menatap. Seperti menyiratkan untuk mempersilakan lawan bicaranya untuk berbicara terlebih dahulu.
“Apa kau merasakannya, Ca?” tanya Arfisi. “Merasakan apa, Arf?” ujar Rasha bingung. “Kita begitu dekat. Meskipun kita berjauh-jauhan.” ujar Arfisi diikuti senyum Rasha pertanda setuju. “Dan kau pun pasti menyadari, bukan? Kita sama-sama merasa saling memiliki.” lanjutnya. “Kau tahu? Kita butuh ikatan untuk memastikan bahwa kita memang saling memliki. Bukan hanya sekadar merasa. Bukankah begitu?” giliran Rasha yang bertanya.
“Tapi, aku merasa kita masih butuh adegan-adegan puitis di hubungan ini. Bukannya aku tidak...” kata-kata Arfisi terhenti ketika Rasha memeluknya. “Apa ini cukup puitis, Arf?” keduanya tersenyum hangat. Tidak ada lagi yang mereka cemaskan. Rindu mereka terpenuhi dan kasih berbalas-balasan. Dari balik jendela, terlihat hujan turun di langit yang cerah, seakan tak mau menerima kodratnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ragu
Short Story"Kalau kita di sini saja, apa kau bisa menjamin bahwa kau tidak akan kehilangan aku, Arf?"